Pandangan tentang Wahabi Era Awal

Pandangan tentang Wahabisme Awal Para ulama menulis berbagai risalah untuk menolak pandangan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab. Termasuk di antara mereka adalah saudaranya, Syaikh Sulayman, dan guru-gurunya... Namun, ia mengklaim bahwa tujuan sekte yang ia dirikan ini adalah untuk memurnikan tawhid, untuk membebaskannya dari seluruh jejak syirik, keadaan yang menurutnya telah membelenggu masyarakat selama enam ratus tahun
Pandangan tentang Wahabi Era Awal
Gambar: Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, mufti Makkah madzhab Syafi'i era Turki Usmani

Judul buku: Wahabisme Sebuah Tinjauan Kritis
Penulis: Hamid Algar
Penerbit: Democracy Project
Tempat/Tahun terbit: Jakarta 2011
Diterjemahkan dari:
Wahhabism: A Critical Essay
(Oneonta, New York; Islamic Publication International, 2002)
Penulis: Hamid Algar
Penerjemah: Rudy Harisyah Alam
Editor: Ihsan Ali-Fauzi
Penyelaras Akhir: Achmad Rifki dan Saidiman

Daftar Isi

Lampiran B Pandangan tentang Wahhabisme Awal

Ahmad bin Zaini Dahlan, lahir pada 1232 H/1816 M, menjadi mufti mazhab Syafi’i di Mekkah pada 1288 H/1871 M dan wafat di sana pada 1304 H/1886 M. Karena itu, ia tidak dipandang sebagai saksi hidup atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di Haramain pada masa pendudukan pertama kelompok Wahhabi. Namun, ia mengetahui orang-orang yang pernah mengalami peristiwa-peristiwa tersebut. Ringkasan berikut, yang berasal dari karya sejarahnya yang utama yang merupakan sebuah kronika mengenai dunia Islam sesudah wafatnya Nabi, mungkin dapat mencerminkan sikap-sikap yang muncul terhadap Wahhabisme di Hijaz pada dua atau tiga dasawarsa kemudian.

Pendiri sekte yang kejam ini, Muhammad bin ‘Abd al- Wahhab, berasal dari wilayah bagian timur Semenanjung Arab dari kalangan suku Bani Tamim. Ia hidup hampir selama seratus tahun, yang memungkinkan dirinya untuk menyebarkan penyelewengannya. Ia lahir pada tahun 1111 H dan meninggal pada tahun 1206 H, sebagaimana diungkapkan dalam kronogram berikut ini:

Hancurnya pihak yang jahat menjadi nyata (badâ halâk al-khabîts). Ia mulai belajar ilmu-ilmu agama di Madinah al-Munawwarah, semoga salawat dan salam dilimpahkan kepada yang bersemayam di sana [Nabi]. Ayahnya adalah seorang ulama yang saleh, demikian pula saudaranya, Syaikh Sulayman. Bersama guru-gurunya, keduanya mulai mencurigai bahwa ia [Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab] akan menyebarkan kekeliruan dan kesesatan, berdasarkan berbagai ucapan, tindakan dan kecenderungan yang mereka amati pada dirinya. Mereka mengkritiknya dan memperingatkan orang tentang dirinya. Tuhan membuktikan bahwa kecurigaan mereka beralasan ketika dengan cara bid’ah, ia menyebarkan kekeliruan dan kesesatan, yang berujung pada pertentangannya dengan para pemimpin dalam perkara agama (a’immah al-dîn). Ia melangkah jauh dengan menyatakan orang- orang beriman sebagai kafir. Ia mengklaim bahwa berziarah ke makam Nabi—semoga salawat dan salam dilimpahkan kepadanya—dan meminta kepadanya atau kepada nabi-nabi lain dan orang-orang saleh sebagai perantara (al-tawassul) atau berziarah ke makam mereka, adalah perbuatan syirik [mempersekutukan Tuhan]. Ia juga menganggap sebagai syirik ketika orang mengalamatkan kepada para nabi, orang-orang suci dan orang-orang saleh ketika meminta kepada mereka, dan menisbatkan apa pun kepada selain Tuhan, bahkan kendati dengan cara metafor rasional. Dengan demikian, jika seseorang berkata, “obat ini berguna bagi saya” atau “orang suci itu membantu saya ketika saya memintanya sebagai perantara,” orang itu telah berbuat dosa syirik.

Dalam keseluruhan itu, Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab mengutip bukti-bukti yang sama sekali tidak mendukung argumen-argumennya. Dengan demikian ia membuat frase-frase yang menipu dan seolah-olah adil yang dengan cara itu ia membujuk orang awam untuk mengikutinya. Ia menulis berbagai risalah yang meyakinkan mereka bahwa kebanyakan para penganut tawhid sesungguhnya adalah kafir. Lalu ia menjalin kontak dengan para penguasa di wilayah timur semenanjung, khususnya al-Dir‘iyyah, dan berdiam di tengah-tengah mereka hingga ia berhasil membujuk mereka untuk mendukungnya dan menyebarkan pandangannya. Mereka menjadikan hal itu sebagai sarana untuk memperkuat kekuasaan mereka dan memperluasnya hingga mencakup suku Badui dan penduduk gurun pasir. Lalu suku Badui itu menjadi tentara sukarelawan bagi mereka, yakin bahwa siapa pun yang tidak memercayai apa yang dikatakan oleh Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab adalah orang kafir, melakukan dosa syirik, yang darahnya boleh ditumpahkan dan hartanya dapat dirampas. Permulaan peristiwa ini terjadi pada 1143 H, dan mulai menyebar pada 1150 H.

Para ulama menulis berbagai risalah untuk menolak pandangan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab. Termasuk di antara mereka adalah saudaranya, Syaikh Sulayman, dan guru-gurunya... Namun, ia mengklaim bahwa tujuan sekte yang ia dirikan ini adalah untuk memurnikan tawhid, untuk membebaskannya dari seluruh jejak syirik, keadaan yang menurutnya telah membelenggu masyarakat selama enam ratus tahun, serta untuk memperbarui agama mereka. (Târîkh al-Futûhât al-Islâmiyyah, Kairo, 1387/1968, II, h. 234-235).


Lampiran C Tanggapan Syi‘ah terhadap Wahhabisme

Pada 1210 H/1795 M, sekitar delapan tahun sebelum kelompok Wahhabi menghancurkan Karbala, Syaikh Ja’far Kasyif al-Ghita’(w. 1228/1813), salah seorang ulama Syi‘ah terkemuka pada masa itu, menyusun sebuah risalah yang ditulis dengan bahasa yang elegan dan santun berjudul Manhaj al-Rasyad liman arada ‘l-Sadad, yang ditujukan kepada ‘Abd al-‘Aziz bin Muhammad bin Sa‘ud. Dengan bersandar semata-mata pada
kumpulan hadis Sunni, ia berusaha menolak banyak tuduhan kufur dan syirik yang dialamatkan kaum Wahhabi kepada kaum Muslim—termasuk par excellence kelompok Syi‘ah. Ringkasan berikut membahas persoalan istighâtsah, yakni meminta bantuan dari orang-orang suci, dan praktik-praktik terkait yang dianggap syirik oleh kaum Wahhabi, namun memiliki landasan yang kuat baik dalam tradisi ibadah Sunni maupun Syi‘ah. Hal yang penting adalah pengamatan sang pengarang bahwa kepercayaan mengenai bolehnya praktik-praktik semacam itu maupun penolakan atasnya bukan merupakan bagian dari keyakinan Islam.

Saya meminta anda demi Zat yang memberi anda pendengaran dan penglihatan: renungkanlah masalah ini secara hati-hati dan sucikanlah jiwa anda dari keinginan untuk memisahkan diri dari yang lain; hal ini wajib atas kita sebagaimana kita wajib untuk tidak mengikuti secara buta bapak-bapak kita dan nenek-moyang kita lantaran kecintaan yang sejati.

Tidak ada perbedaan antara orang yang hidup dan orang yang sudah mati [dalam hal berdoa kepada mereka], karena meminta bantuan (istighâtsah) dari makhluk atau meminta perlindungan kepadanya atas dasar asumsi bahwa ia agen yang mandiri (fâ‘il mukhtâr) adalah sejenis kekufuran.

Demikianlah halnya [permohonan terhadap] Isa dan Maryam [mungkin yang dimaksud pengarang di sini adalah kepercayaan dan praktik orang-orang Kristen—Hamid Algar]. Namun, sekadar kepercayaan bahwa orang yang sudah mati dapat atau tidak dapat mendengar permohonan yang disampaikan kepada mereka bukan suatu doktrin agama, yang hal ini wajib diketahui kaum Muslim. Orang yang menganut salah satu dari pandangan
tersebut bisa jadi benar dan akan diberi pahala, atau bisa jadi salah dan akan dimaafkan.

Kini kata-kata yang mengandung harapan atau kepercayaan yang ditujukan kepada selain Tuhan, sandaran kepada selain Tuhan, meminta perlindungan (al-iltijâ’) atau bantuan dari selain Tuhan, jika dipahami secara harfiah, tidak dapat membuat kaum Muslim hidup di bumi. Karena, tidak ada orang yang tidak meminta bantuan untuk melawan musuhmusuhnya, yang tidak bersandar pada teman-temannya, dan yang tidak mencari perlindungan kepada penguasa. Jika yang dimaksud adalah orang yang dijadikan sandaran itu memiliki kemampuan untuk mengatur dan menghendaki segala perkara di dunia, terlepas dari perintah Tuhan, maka sesungguhnya ini adalah kufur. Jika sebaliknya, maka praktik semacam itu sama sekali tidak berbahaya.

Perlu dikutip di sini apa yang diriwayatkan oleh al-Qutaybi. Ia meriwayatkan bahwa suatu waktu ia sedang duduk di sebelah makam Rasulullah—semoga salawat dan salam dilimpahkan kepadanya— ketika seorang Badui datang, memberikan salamnya kepada Rasul dan membacakan bait-bait berikut:

Wahai orang-orang terbaik dan termulia yang pernah dikubur di bumi, yang membuat bumi harum semerbak dengan wangi mereka, Semoga jiwaku menjadi bayaran untuk makam di mana engkau bersemayam, karena di sana terdapat kesucian, kebaikan dan kemuliaan.

Lalu orang Badui itu berkata: “Di sinilah aku, wahai Rasulullah; aku telah menzalimi diriku sendiri. Aku meminta ampun kepada Allah, dan aku memintamu, wahai Rasulullah, agar engkau memintakan ampun bagiku.” Al-Qutaybi mengisahkan bahwa ia lalu tertidur, dan bermimpi bahwa Nabi berkata kepadanya: “Wahai Qutaybi, carilah orang Badui itu, dan berilah dia kabar gembira bahwa Allah telah mengampuninya.”
Kemudian ia bangkit dan menyampaikan kabar gembira itu kepada orang Badui tersebut.

(Dari Manhaj al-Rasyad li man arada ‘l-Sadad, dicetak sebagai lampiran dalam Muhammad Husayn Kasyif al-Ghita’, al-‘Abaqat al-Anbariyyah fi ‘l-Tabaqat al-Ja’fariyyah, disunting oleh Jaudat al-Qazwini, Beirut, 1417/1998, h. 555).

Kronologi

1115/1703 Lahirnya Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab di ‘Uyaynah

1139/1726 Ayahnya dicopot dari jabatan hakim di ‘Uyaynah, dan terpaksa pindah ke Huraymilah

1140/1727 Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab mulai belajar selama empat tahun di Madinah

1145/1732 Ia pindah ke al-Majmu‘ah, di dekat Basrah

1146/1733 Utusannya yang pergi ke Mekkah untuk meminta izin melakukan haji dikalahkan dalam suatu debat dengan ulama

1153/1740 Ayahnya wafat; ia kembali ke ‘Uyaynah, menjalin kerjasama dengan penguasa ‘Uyaynah, Utsman bin Mu‘ammar

1157/1744 Ia pindah ke al-Dir‘iyah; menjalin kerjasama dengan Muhammad bin Sa‘ud, dan dengan begitu membangun aliansi Wahhabi-Saudi

1159/1746 Negara Wahhabi-Saudi mendeklarasikan jihad melawan kaum Muslim

1180/1766 Wafatnya Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab

1217/1802 Kaum Wahhabi menghancurkan dan menjarah Karbala

1218/1803 Pembunuhan terhadap ‘Abd al-Aziz bin Muhammad bin Sa‘ud

1220/1805 Penaklukan kaum Wahhabi atas Kota Madinah

1220/1806 Penaklukkan kedua Wahhabi atas Kota Makkah

1228/1813 Pembebasan Makkah dan Madinah oleh Muhammad ‘Ali Pasha

1234/1819 Penghancuran al-Dir‘iyyah oleh Muhammad ‘Ali Pasha; eksekusi terhadap ‘Abdullah bin Sa‘ud di Istambul

1865 Kontak pertama Inggris dengan keluarga Saudi

1915 Perjanjian Inggris-Saudi

1924-1925 Penaklukan Dinasti Saudi atas Hijaz

1929 Pembungkaman terhadap Ikhwan

1932 Proklamasi formal Kerajaan Arab Saudi

1953 Wafatnya ‘Abd al-‘Aziz bin Sa‘ud

1962 Pembentukan Liga Dunia Muslim

1979 Pemberontakan di Makkah

1981 Perang Teluk

1993 Pembentukan Komite Pembela Hak-hak Hukum

2001 Akhir rezim Taliban di Afghanistan
LihatTutupKomentar