Dari Tulisan Muhammad bin Abdul Wahhab

Dari Tulisan-tulisan Muhammad bin Abdul Wahhab Hal yang perlu dicatat adalah pandangannya bahwa seluruh kaum musyrik Arab yang dihadapi Nabi Muhammad pada dasarnya adalah kaum monoteis, kecuali dalam hal kepercayaan mereka terhadap perantara. Gambaran yang sangat tidak akurat tentang kaum musyrik Mekkah ini membantu kita untuk memahami mengapa Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dengan mudah mencap kaum Muslim pada zamannya sebagai orang-orang musyrik.
Dari Tulisan-tulisan Muhammad bin Abdul Wahhab
Hal yang perlu dicatat adalah pandangannya bahwa seluruh kaum musyrik Arab yang dihadapi Nabi Muhammad pada dasarnya adalah kaum monoteis, kecuali dalam hal kepercayaan mereka terhadap perantara.

Gambaran yang sangat tidak akurat tentang kaum musyrik Mekkah ini membantu kita untuk memahami mengapa Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dengan mudah mencap kaum Muslim pada zamannya sebagai orang-orang musyrik.

Judul buku: Wahabisme Sebuah Tinjauan Kritis
Penulis: Hamid Algar
Penerbit: Democracy Project
Tempat/Tahun terbit: Jakarta 2011
Diterjemahkan dari:
Wahhabism: A Critical Essay
(Oneonta, New York; Islamic Publication International, 2002)
Penulis: Hamid Algar
Penerjemah: Rudy Harisyah Alam
Editor: Ihsan Ali-Fauzi
Penyelaras Akhir: Achmad Rifki dan Saidiman

Daftar Isi

Lampiran A Dari Tulisan-tulisan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab

Sulit untuk menemukan bagian-bagian dari tulisan pendiri Wahhabisme yang umumnya bersifat ulasan, yang mungkin dapat menggambarkan secara meyakinkan cara berpikirnya karena, seperti telah dikemukakan sebelumnya, tulisan-tulisan pendiri Wahhabisme hanyalah berupa kumpulan hadis-hadis. Tulisan-tulisannya yang lain telah mengalami “perluasan”, seperti halnya tulisan-tulisan yang ringkasannya disajikan pada bagian ini. Namun, tidak diragukan bahwa ide utama yang terkandung dalam tulisan-tulisan itu adalah asli miliknya, terlepas dari cara pengungkapannya yang tidak elegan. Hal yang perlu dicatat adalah pandangannya bahwa seluruh kaum musyrik Arab yang dihadapi Nabi Muhammad pada dasarnya adalah kaum monoteis, kecuali dalam hal kepercayaan mereka terhadap perantara.

Gambaran yang sangat tidak akurat tentang kaum musyrik Mekkah ini membantu kita untuk memahami mengapa Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dengan mudah mencap kaum Muslim pada zamannya sebagai orang-orang musyrik. Bahkan, ia memandang kaum Muslim pada zamannya lebih sesat daripada orang-orang yang kepercayaan kelirunya dihadapi
Nabi Muhammad, seperti terlihat jelas dari ringkasan yang kedua. Mungkin hal
ini menjelaskan mengapa kaum Wahhabi tidak sungkan untuk melakukan tindakan-tindakan brutal yang Nabi sendiri tidak pernah membiarkan dirinya tergoda untuk melakukannya.

Perlu juga dicatat bahwa dalam ringkasan yang kedua Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab memandang adanya sifat tak berdosa dan saleh pada objek-objek tak bernyawa.

Penjelasan bahwa tugas utama para rasul adalah menegakkan tawhid ibadah

Ketahuilah, semoga Allah melimpahkan rahmat kepada kalian, bahwa tawhid adalah menyembah Allah semata. Inilah agama para rasul yang telah Ia utus kepada hamba-hamba-Nya.Yang pertama dari para rasul itu adalah Nuh, yang Allah utus sebagai rasul kepada kaumnya, yang terlampau mengagungkan orang-orang saleh, yakni Wida, Wiswa’, Yaguth dan Nasr. Rasul yang terakhir adalah Muhammad, semoga salawat dan
salam dilimpahkan kepadanya; dialah yang telah menghancurkan patung-patung dari orang-orang saleh itu. Tuhan mengirim kepada kaum yang telah beribadah, berziarah
ke Ka’bah, bersedekah dan banyak mengingat Allah. Hanya saja mereka menjadikan
makhluk-makhluk tertentu sebagai perantara antara diri mereka dan Allah, dan mengatakan “kami berusaha dekat kepada Tuhan dengan perantaraan mereka dan kami
meminta syafa’at mereka,” [makhluk-makhluk] seperti malaikat, Isa, Maryam, dan orang-orang saleh lainnya.

Karena itu, Allah mengutus Muhammad, semoga salawat dan salam dilimpahkan kepadanya, kepada mereka agar ia dapat mengembalikan agama nenek moyang mereka, Ibrahim, dan memberi tahu kepada mereka bahwa sikap mendekatkan diri dan percaya (al-taqarrub wa ‘l-i‘tiqad) hanya milik Allah semata, tidak ada tempat bagi malaikat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, tidak pula seorang nabi yang diutus oleh-Nya, apalagi manusia lainnya. Karena, orang-orang yang bukan musyrik bersaksi bahwa hanya Tuhanlah Sang Pencipta, tiada sekutu bagi-Nya; hanya Dia-lah semata yang memberi rezeki; hanya Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan; bahwa langit dan segala isinya, tujuh lapis bumi beserta apa yang terkandung di dalamnya—seluruhnya tunduk pada kehendak dan kekuasaan-Nya. (Kasy al-Syubuhat, diperluas oleh ‘Ali al-Hamad al-Salihi, Riyad, 1388/1968, h. 13-14)

Bukti bahwa kemusyrikan orang-orang pada masa lampau lebih ringan daripada kemusyrikan orang-orang pada zaman kita

Tatkala kalian menyadari bahwa apa yang disebut oleh kaum musyrik pada zaman kita sebagai al-i‘tiqâd[1] adalah syirik yang disebut oleh al-Qur’an dan yang atas dasar itu Rasul—semoga salawat dan salam dilimpahkan kepadanya—memerangi kaumnya, ketahui pula hal berikut ini: bahwa syirik yang dilakukan oleh generasi yang lebih awal lebih ringan daripada syirik yang dilakukan orang-orang pada zaman kita karena
dua alasan.

Pertama, pada masa-masa senang, orang-orang masa lalu tidak mempersekutukan Tuhan dan tidak meminta kepada para malaikat, orang-orang suci (al-awliyâ’) dan berhala-berhala.

Adapun ketika pada masa-masa sulit, mereka hanya berdoa kepada Tuhan semata. Buktinya adalah perkataan Tuhan: “Ketika kesulitan menimpa kalian di lautan,
siapa pun yang kalian seru meninggalkan kalian, seluruhnya kecuali Dia, dan
ketika Ia membawa kalian dengan selamat ke tepian, kalian berpaling.

Sungguh manusia itu tidak bersyukur” (al-Isra’ 67). Lagi, “Katakanlah: cobalah kalian renungkan—jika hukuman Tuhan datang kepada kalian, atau saatnya telah tiba, apakah kalian akan menyeru selain Tuhan? Jawablah jika kalian benar. Tidak, hanya Dialah yang akan kalian seru; Ia akan membebaskan kalian dari kesulitan tatkala
kalian berdoa kepada-Nya, jika Ia kehendaki, dan kalian akan melupakan sekutu-sekutu yang kalian nisbatkan kepada-Nya” (al-An‘am 40-41).[2] Yang juga berkaitan
adalah ayat-ayat, “Ketika kesulitan menimpa manusia, dia menyeru dengan penuh penyesalan kepada Tuhan, namun ketika Ia memberinya kemudahan dari sisi-Nya, ia melupakan apa yang mendorongnya untuk meminta kepada-Nya; ia memunculkan pesaing-pesaing bagi Tuhan untuk menyesatkan orang dari jalan-Nya. Katakanlah: ‘Nikmatilah
kekufuran kalian untuk sesaat; kalian sungguh akan menjadi penghuni neraka’.” (al-Zumar 8), dan “Ketika gelombang menyelimuti mereka seperti bayangan, mereka memohon kepada Tuhan semata” (Luqman 32).

Hendaknya hal ini dipahami karena Tuhan telah menjelaskan dalam kitab-Nya: kaum musyrik yang dihadapi oleh Nabi—semoga salawat dan salam dilimpahkan kepadanya—
meminta kepada Tuhan dan kepada yang lainnya [pada saat yang sama] ketika mereka berada dalam kemudahan.[3] Ketika mengalami kesulitan dan kesusahan, mereka hanya menyeru kepada Tuhan semata, Yang Unik dan Esa tanpa sekutu, dengan melupakan tuan-tuan mereka. Hal ini seharusnya membuat kalian jelas mengenai perbedaan antara syirik yang dipraktikkan oleh orang-orang pada zaman kita dan syirik yang dilakukan
oleh orang-orang masa silam. Tetapi, di mana orang-orang yang pemahamannya mengenai persoalan ini terpatri dalam hati mereka? Semoga Allah menolong kita.

Alasan kedua mengenai lebih beratnya kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang pada zaman kita adalah orang-orang pada masa lalu biasa meminta kepada Tuhan, para nabi, para wali, atau para malaikat, atau menghaturkan doa mereka kepada pohon-pohon dan batu-batu, yang merupakan benda-benda yang tunduk kepada Tuhan, tidak membangkang terhadap-Nya. Adapun orang-orang pada zaman kita, mereka meminta kepada orang-orang yang berdosa di samping meminta kepada Tuhan. Diriwayatkan bahwa orang-orang yang dimintai bantuan oleh mereka adalah orang-orang yang melakukan dosa besar, seperti perzinaan, pencurian, meninggalkan salat, dan seterusnya.

Kejahatan orang yang percaya pada kekuatan orang yang saleh atau sebuah benda,
seperti kayu atau batu, yang tidak membangkang terhadap Tuhan, lebih ringan daripada orang yang memiliki kepercayaan yang sama terhadap orang-orang yang dosa dan kejahatannya sudah terlihat jelas. (Kasy al-Syubuhât, h. 31-32).

Catatan kaki

[1] Apa yang dimaksud dengan al-i‘tiqâd adalah kepercayaan bahwa orang-orang tertentu memiliki,khususnya setelah wafat, sifat-sifat yang membuat syafaat, mereka dengan Tuhan dapat diterima.

[2] Ayat-ayat yang dikutip nyaris tidak mendukung argumen Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab. Sebaliknya, ayat pertama menegaskan bahwa orang-orang musyrik memang memohon kepada Tuhan ketika mereka menghadapi bahaya di lautan, dan ayat-ayat surah al-An‘am mengajak orang untuk merenungkan situasi masa mendatang untuk mengatasi situasi mereka sekarang.

[3] Kalimat ini tampaknya bertentangan dengan pernyataan yang terkandung
dalam pembukaan alinea kedua ringkasan ini.
LihatTutupKomentar