Wahabisme: Sebuah Tinjauan Kritis

Terjemah buku Wahhabism: A Critical Essay by Hamid Algar diterjemah ke bahasa Indonesia dengan judul Wahabisme Sebuah Tinjauan Kritis oleh Rudy Harisyah Alam
WAHABISME Sebuah Tinjauan Kritis
Terjemah buku Wahhabism: A Critical Essay by Hamid Algar diterjemah ke bahasa Indonesia dengan judul Wahabisme Sebuah Tinjauan Kritis oleh Rudy Harisyah Alam

Judul buku: WAHHABISME Sebuah Tinjauan Kritis
Penulis: Hamid Algar
Penerbit: Democracy Project
Tempat/Tahun terbit: Jakarta 2011
Diterjemahkan dari:
Wahhabism: A Critical Essay
(Oneonta, New York; Islamic Publication International, 2002)
Penulis: Hamid Algar
Penerjemah: Rudy Harisyah Alam
Editor: Ihsan Ali-Fauzi
Penyelaras Akhir: Achmad Rifki dan Saidiman
Bidang studi: Sejarah aliran Wahabi (Neo Khawarij)
Download dalam format PDF

Daftar Isi

Pengantar Penerbit Buku Wahabisme Hamid Algar

Inilah mungkin buku paling ringkas tapi juga paling lengkap mengenai Wahhabisme, aliran pemikiran dan gerakan Islam yang pertama kali muncul di jazirah Arab pada abad kedelapan belas. Seperti ditunjukkan namanya, Wahhabisme diperkenalkan oleh seorang pemimpin agama bernama Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab. Belakangan ini, khususnya sejak terjadinya pemboman terhadap Menara Kembar di kota New York, Amerika Serikat, pada 11 September 2001, Wahhabisme makin sering dibicarakan, karena banyak analis mengaitkan pengaruh ajaran itu dengan pertumbuhan dan praktik Islam radikal, bahkan Islam teroris, di dunia. Dua tahun lalu, misalnya, Khaled Abou El Fadl, seorang sarjana Muslim kenamaan, menulis dengan nada geram mengenai pengaruh itu. Katanya antara lain, “Setiap kelompok [radikal] Islam yang hingga tingkat yang berbeda dikecam oleh dunia, seperti Taliban dan al-Qa’ida, amat dipengaruhi oleh pemikiran Wahhabi.” [1]

Buku ini bukan saja terdiri dari deskripsi mengenai Wahhabisme, tetapi juga penilaian kritis penulisnya, Professor Hamid Algar, tentangnya. Hal ini dapat ditemukan pada hampir semua bagian buku ini. Pendahuluan buku ini, bab I, mendiskusikan secara umum tempat Wahhabisme di dunia Islam dan mengapa “Wahhabisme” adalah satu-satunya nama yang tepat untuk penyebutannya. Pada bab II, Algar menyajikan riwayat hidup Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab yang dikenal berwatak keras, puritan dan intoleran, lengkap dengan kesaksian bapak dan saudaranya mengenainya. Bagian ini juga secara kritis membicarakan karya-karya pendiri Wahhabisme itu, yang oleh Algar dinilai kurang memiliki bobot intelektual, dan aliansi yang terjadi di antara tokoh itu dengan keluarga bin Sa‘ud, yang karenanya upaya “pemurnian” a la Wahhabisme dimungkinkan. Bab III membahas doktrin Wahhabisme, yang berpusat pada apa yang disebut sebagai tawhîd al-‘ibâdah, yang antara lain menyebabkan penolakan kaum Wahhabi atas sufisme dan filsafat—juga atas apa saja yang mereka klaim sebagai bid’ah. Lagi-lagi, Algar mengeritik sejumlah doktrin itu, yang pada kadar tertentu dianggapnya sudah membabi-buta. Kemudian, pada bab IV, Algar mendeskripsikan bagaimana ekspansi paham Wahhabisme dilakukan ke seluruh dunia, khususnya setelah kerajaan Arab Saudi memperoleh banyak uang dari hasil penjualan minyak. Pada bagian ini, Algar juga mendiskusikan aliansi tak-suci (unholy alliance) yang berlangsung antara sebuah kerajaan Islam, yang didukung Wahhabisme, dengan pemerintahan-pemerintahan Barat, khususnya Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Akhirnya, setelah kesimpulan, buku ini dilengkapi dengan sejumlah lampiran yang memperkuat penilaian Algar.

Professor Hamid Algar bukan sembarang sarjana. Dilahirkan di Inggris pada 1940, Algar adalah sarjana kenamaan yang kontribusinya sudah luas diakui dunia. Algar menempuh pendidikan-tingginya di Universitas Cambridge, Inggris: ia memperoleh gelar sarjana dalam bidang bahasa-bahasa Timur (Arab dan Persia), dan kemudian menulis disertasi doktor mengenai peran politik para ulama Syi‘ah pada abad kesembilanbelas. Sejak tahun 1965, ia bekerja pada Departemen Studi-studi tentang Timur Dekat (Department of Near Eastern Studies) pada Universitas California, di Berkeley, di mana ia mengajar sejarah dan filsafat Persia dan Islam. Seorang pengikut Tarekat Naqsyabandiyah, belakangan Algar juga mengajar sufisme di universitas yang sama.

Algar menguasai bahasa Arab, Persia, dan Turki (baik Turki masa Dinasti Utsmaniyah maupun modern) dan lebih dari setengah lusin bahasa Eropa. Sekalipun mengawali karirnya sebagai ahli Islam di Iran atau Persia, belakangan Algar melebarkan minat kesarjanaannya, baik secara historis maupun geografis. Belakangan ia juga rajin berkunjung ke berbagai wilayah dunia Islam. Di antara karya-karyanya, Algar pernah menyunting berbagai tulisan dan pidato pemimpin revolusi Islam Iran, Ayatullah Ruhullah Khomeini, yang dipublikasikan dalam Islam and Revolution (1981). Pandangannya sendiri mengenai revolusi Iran disajikannya dalam The Roots of the Islamic Revolution in Iran (1984). Penguasaannya akan sejarah dan hal-ihwal Islam di Persia ditunjukkan antara lain oleh lebih dari 100 artikel yang disumbangkannya untuk Encyclopaedia Iranica. Belakangan, Algar menulis beberapa buku tipis yang berisi pengantar mengenai Islam dan sejarahnya.

Buku Wahhabisme: Sebuah Tinjauan Kritis ini adalah salah satu contoh karya Algar yang belakangan. Seperti sudah disinggung, selain deskripsi, buku ini juga berisi tinjauan kritis. Dari tangan Professor Algar, kita memang sulit berharap datangnya sebuah tawaran yang netral, apalagi hal itu menyangkut sebuah masalah sekontroversial Wahhabisme, yang oleh sementara kalangan dianggap sudah mencemarkan nama baik Islam di dunia. [2] Dalam sebuah wawancara, Algar menyatakan bahwa belakangan ini ia makin mengapresiasi tinggi “keragaman kebudayaan Islam yang luar biasa kaya dan ekspresi yang amat berwarna dari Islam sebagai sebuah agama.” Mungkin karena alasan inilah mengapa ia, seperti juga Abou El Fadl, begitu gusar dengan Wahhabisme, yang hendak menyeragamkan Islam dan menguburkan keragaman ekspresi budayanya. Demikianlah, misalnya, ia dengan tegas menunjukkan bahwa naiknya Wahhabisme ke panggung kekuasaan diikuti oleh tumpahnya darah dan jatuhnya korban manusia dan peradabannya. Pembelaannya kepada kebudayaan Islam lokal yang hendak diberangus ekspansi Wahhabisme, seperti terjadi di Asia Tengah dan Bosnia-Herzegovina, mengingatkan kita akan fakta bahwa Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada tahun 1926 persis untuk menahan ekspansi Wahhabisme itu di Nusantara.

Penting disadari, bersikap kritis tidaklah sama dengan bersikap tidak objektif. Sikap yang terakhir, tidak objektif, adalah sikap yang dicirikan oleh keinginan untuk menutup-nutupi fakta, atau keinginan untuk tidak mengungkap fakta apa adanya, termasuk kesengajaan untuk tidak mengungkap fakta selengkap-lengkapnya. Bersikap kritis tidak harus bertentangan dengan bersikap objektif. Bahkan, sikap kritis yang sesungguhnya hanya dapat dilakukan jika kita bersedia berlaku objektif, sebab hanya di atas objektivitaslah kritisisme yang tangguh bisa diberikan.

Karya ini adalah sebuah karya yang objektif sekaligus kritis mengenai Wahhabisme. Dalam menunjang paparan dan kritiknya, Professor Algar memanfaatkan sumber-sumber primer dari beragam bahasa, termasuk dokumen-dokumen resmi yang diterbitkan pemerintah Arab Saudi berisi sejarah resmi Wahhabisme dan Kerajaan Arab Saudi. Tinjauan kritis Algar boleh jadi dimotivasi oleh kekhawatirannya sebagai seorang manusia, sebagai pengikut sebuah tarekat, tetapi nilai kritisismenya itu tidak serta-merta luntur hanya karena motivasinya itu, sebab pada kenyataannya ia tetap bisa bersikap objektif dalam melihat fakta-fakta mengenai Wahhabisme. Hasil kritisisme seorang sarjana tidak bisa dinilai hanya dari motivasinya, sekalipun hal itu tetap perlu, melainkan dari bagaimana ia sampai pada kritisismenya itu dan oleh argumentasi apa ia menopangnya.

Dalam upayanya mengungkap sejarah dan implikasi negatif ekspansi Wahhabisme, Algar tidaklah sendirian. Belakangan ini makin banyak sarjana, baik Muslim maupun non-Muslim, yang terlibat dalam proyek ini. Di atas sudah disebutkan karya Abou El Fadl, Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (2005), yang menunjukkan bahwa Islam kini telah “dibajak” oleh kalangan Muslim ekstremis, dan hal ini tidak bisa dibenarkan. Menurut El Fadl, kaum Muslim moderat harus bahu-membahu merebut kembali Islam dari dominasi kaum ekstremis ini, antara lain dengan mengkritisi peham Wahhabisme.

Karya lainnya adalah Good Muslim, Bad Muslim: America, the Cold War, and the Roots of Terror (2004), karangan Mahmood Mamdani, sarjana Muslim kelahiran India yang kini mengajar di Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat. Sesuai dengan keahliannya sebagai ilmuwan sosial, di sini Mamdani menelusuri tumbuhnya radikalisme Islam, yang antara lain diwakili puritanisme Wahhabi, di dalam sejarah ekonomi-politik Perang Dingin, yang mengharuskan kerjasama negara-negara kapitalis Barat, khususnya Amerika Serikat, dengan kerajaan Arab Saudi. Dalam penilaian Mamdani, karena adanya kesamaan kepentingan, pemerintahan-pererintahan Barat bersikap acuh saja terhadap tumbuhnya Islam radikal yang ditopang Karajaan Arab Saudi, sekalipun secara retoris mereka sering mengampanyekan demokratisasi negara-negara Muslim. Lebih dari itu, dibantu oleh pemerintahan repressif di Pakistan, pemerintahan-pemerintahan Barat bahkan mendukung dan memfasilitasi tumbuhnya jaringan Islam radikal dalam skala global, yang memperoleh momentumnya yang paling baik di dalam Perang Afghanistan menentang invasi Uni Soviet di tahun 1980-an. Terlepas dari niat awalnya untuk mengusir tentara Soviet, setelah perang itu sendiri selesai, jaringan Islam internasional yang terbentuk dalam Perang Afghanistan itu belakangan berkembang menjadi jaringan teroris yang amat berbahaya. Di sinilah Osama bin Ladin, yang dulunya dikenal amat dekat dengan keluarga Kerajaan Arab Saudi, membentuk al-Qa‘idah yang belakangan menyatakan perang habis-habisan menentang kekufuran di seluruh dunia, termasuk dengan membunuh kaum Muslim sendiri. Kata Mamdani, inilah salah satu ongkos Perang Afghanistan, di mana “Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya menciptakan, melatih, dan memelihara infrastruktur teror, yang berskala internasional, bebas dari kontrol efektif negara mana pun, dan terbungkus dalam bahasa perang agama.” [3] Ringkasnya, Bin Ladin dan al-Qa‘ida adalah seperti monster Frankenstein yang diciptakan dan dipelihara untuk tujuan tertentu, tetapi yang belakangan hendak mengenyahkan penciptanya sendiri.

Footnote:

[1] Khaled Abou El Fadl, Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (San Francisco: Harper Collins, 2005), h. 45.

[2] Inilah yang antara lain mendorong Abou El Fadl menulis buku The Great Theft (lihat catatan kaki nomor 1). Seperti dikesankan anak-judul buku itu, El Fadl sedang mengajak pembacanya untuk membersihkan nama Islam dari “pembajakan” atasnya oleh kalangan Islam ekstremis, yang terpenting di antaranya adalah Wahhabisme. Baginya, nama baik Islam sudah dicemarkan oleh kelompok terakhir itu.

[3] Mahmood Mamdani, Good Muslim, Bad Muslim: America, the Cold War, and the Roots of Terror (New York: Pantheon Books, 2004), h. 234.
LihatTutupKomentar