Antara Wahabi dan Khawarij

Antara Wahabi dan Khawarij Pada masa yang jauh lebih awal dalam sejarah Islam, kelompok Khawarij, seperti halnya kelompok Wahhabi, memandang kaum Muslim yang tidak sepaham dengan doktrin-doktrin mereka sebagai orang-orang murtad yang boleh diperangi, jika bukan malah diwajibkan. Karena itu, kelompok Khawarij melancarkan operasi penyerangan terhadap mereka.
Antara Wahabi dan Khawarij

Pejabat-pejabat Kerajaan Utsmani lainnya membuat apa yang mungkin disebut sebagai perbandingan yang lebih membantu memberi pemahaman, antara Wahhabisme dan Khawarij.[19] Pada masa yang jauh lebih awal dalam sejarah Islam, kelompok Khawarij, seperti halnya kelompok Wahhabi, memandang kaum Muslim yang tidak sepaham dengan doktrin-doktrin mereka sebagai orang-orang murtad yang boleh diperangi, jika bukan malah diwajibkan. Karena itu, kelompok Khawarij melancarkan operasi penyerangan terhadap mereka.

Judul buku: Wahabisme Sebuah Tinjauan Kritis
Penulis: Hamid Algar
Penerbit: Democracy Project
Tempat/Tahun terbit: Jakarta 2011
Diterjemahkan dari:
Wahhabism: A Critical Essay
(Oneonta, New York; Islamic Publication International, 2002)
Penulis: Hamid Algar
Penerjemah: Rudy Harisyah Alam
Editor: Ihsan Ali-Fauzi
Penyelaras Akhir: Achmad Rifki dan Saidiman

Daftar Isi

Reputasi Muhammad bin Abdul Wahab sebagai Ulama dan Pengarang

Menilai prestasi Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab sebagai ulama dan pengarang merupakan kriteria yang sahih untuk memperkirakan prestasinya yang lebih luas, karena sejarah Islam sebagai suatu tradisi intelektual dan spiritual terutama terdiri dari para ulama dan karya-karya yang mereka tulis. Buku adalah artefak yang sangat penting dari peradaban Islam. Setiap tokoh besar yang menggulirkan gerakan pembaruan yang
penting dalam sejarah Islam merupakan seorang penulis yang berpengaruh dan produktif. Dua contoh yang relatif berdekatan dengan periode Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab adalah Syaikh Utsman dan Fodio serta Syah Waliyullah Dihlawi. Namun, Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab jauh untuk bisa dibandingkan dengan keduanya.

Bahkan, ada yang memiliki kesan bahwa Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab memandang kegiatan menulis karangan termasuk dalam perbuatan bid’ah yang selama berabad-abad telah menutupi pikiran kaum Muslim. Kembali ke soal biografi. Kematian ayah dari Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab pada 1153 H/1740 M tampaknya telah membebaskan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dari segala hambatan dalam upaya membasmi apa yang dipandangnya sebagai praktik-praktik syirik. Meksipun ia mengumpulkan sejumlah pengikut, ia segera mendapati sebagai hal yang politis untuk meninggalkan Huraymilah dan dapat kembali ke al-‘Uyaynah yang kini memiliki kondisi yang lebih menguntungkan dibandingkan empat belas tahun sebelumnya ketika ia dipaksa meninggalkan kota itu. Kini penguasa al-‘Uyaynah, ‘Utsman ibn Mu‘ammar, memperluas perlindungannya kepada Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dan bersumpah untuk setia pada pemahaman tawhid yang didakwahkan oleh Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab. Aliansi itu diperkuat oleh pernikahan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dengan al-Jauhara, bibi dari ‘Utsman bin Mu‘ammar. Karena itu, dengan dilindungi oleh sang penguasa, Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab mulai menyingkirkan berbagai rintangan sebelum melangkah lebih jauh dengan proyek
penghancurannya: penghancuran makam Zayd bin al-Khattab, seorang sahabat Nabi dan saudara dari khalifah kedua yang gugur dalam perang Yamamah melawan Musaylamah al-Kadzdzab. ‘Utsman bin Mu‘ammar menyediakan bagi Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab pasukan bersenjata yang terdiri dari enam ratus orang untuk melindunginya dan sekelompok kecil pengikutnya, sementara mereka menghancurkan bangunan makam tersebut. Namun, yang menjadikan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab terkenal adalah tindakan rajam yang dilakukannya secara pribadi terhadap seorang wanita yang berzina, yang konon telah mengakui kesalahannya secara terbuka dan berulang-ulang. “Sejak saat itu,” tulis ‘Utsman bin ‘Abdullah bin Bisyr, “perjuangannya berkembang,kekuasaannya meningkat dan tawhid sejati menyebar ke mana-mana, beserta upaya
menyuruh perbuatan baik dan mencegah perbuatan jahat.”[15]

Tepat pada masa itu ‘Utsman bin Mu‘ammar menyerah pada tekanan pimpinan suku yang kuat di wilayah itu dan mengusir Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dari al-‘Uyaynah. Peristiwa yang terlihat seperti kemunduran itu sesungguhnya merupakan hal yang menguntungkan. Karena, selanjutnya ia pindah ke al-Dir‘iyyah dan membangun aliansi baru dengan Muhammad bin Sa‘ud, penguasa kota itu, yang kemudian diperkuat dengan perkawinannya yang lain. Aliansi ini terbukti permanen, yang melahirkan suatu entitas politik yang selama bertahun-tahun dapat disebut secara bergantian sebagai Saudi atau Wahhabi. Benar bahwa, pada abad keduapuluh negara Saudi akhirnya memperoleh raison d’être kedua sebagai instrumen istimewa kepentingan asing—pertama Inggris, kemudian Amerika—di Timur Tengah. Namun, pada mulanya ia hanya sekadar tangan politik dan militer sekte Wahhabi. Melemahnya ikatan antara kelompok keagamaan dan keluarga Saudi yang kini tampak terjadi pada dasarnya merupakan hasil yang tak terhindarkan dari benturan antara dua pendukung setianya, yakni kelompok Wahhabi dan kelompok Inggris-Amerika. Masih harus dilihat apa yang akan terjadi ketika dua kembar siam ini, Wahhabisme dan keluarga Saudi, terpisah satu sama
lain, dan kelompok mana yang akan tetap bertahan.

Aliansi yang kini mengalami perpecahan itu pada mulanya berlangsung cukup mulus. Muhammad Sa‘ud menjanjikan bantuannya kepada Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dalam mengobarkan jihad melawan siapa pun yang menyimpang dari pemahamannya mengenai tawhid. Ia hanya memiliki satu pengecualian: bahwa Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab mencegahnya untuk mengenakan pajak tahunan yang lazim dikenakan pada penduduk al-Dir‘iyyah. Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab meyakinkan Muhammad Sa‘ud bahwa jihad yang akan dilakukannya akan menghasilkan harta rampasan yang jauh lebih besar dari nilai pajak yang akan diperolehnya.[16] Oleh karena itu, segala sesuatunya dipersiapkan dalam rangka memulai proyek pembunuhan dan penjarahan di seluruh wilayah Arab.

Pada 1159 H/1746 M, negara Wahhabi-Saudi melakukan proklamasi formal jihad melawan semua orang yang tidak sejalan dengan pemahaman tawhid Wahhabisme karena orangorang itu dianggap sebagai kafir, musyrik, dan murtad. Penting untuk diingat bahwa setiap kali istilah “Muslim” muncul dalam kronik yang dibuat ‘Utsman bin ‘Abdullah bin Bisyr, istilah itu secara eksklusif mengacu pada kelompok Wahhabi.

Namun, cap yang dikenakan kelompok Wahhabi terhadap orang-orang di luar kelompok mereka sebagai kafir lebih dari sekadar memiliki arti penting historis. Sikap penolakan yang monopolistik ini, yang selama bertahun-tahun tersamarkan akibat berbagai faktor—terutama sekali hasrat rezim Saudi untuk menjadi pelindung kepentingan kaum Muslim, meski banyak bukti yang menunjukkan sebaliknya— terus mengilhami sikap kaum Wahhabi dewasa ini serta orang-orang yang dipengaruhi mereka terhadap kaum Muslim, kendati sikap semacam itu tidak sepenuhnya ditampakkan.[17]

Salah seorang sejarawan awal gerakan Wahhabi, laksamana Kerajaan Usmani Eyüb Sabri Pasha, membuat kesejajaran yang menarik antara Wahhabisme dan Qaramithah, suatu turunan dari gerakan Isma‘ili yang menaklukkan Mekkah pada 317 H/930 M.[18] Perbandingan ini diinspirasikan oleh apa yang menimpa Haramayn selama pendudukan Wahhabi dari 1806 hingga 1812. Pejabat-pejabat Kerajaan Utsmani lainnya membuat
apa yang mungkin disebut sebagai perbandingan yang lebih membantu memberi pemahaman, antara Wahhabisme dan Khawarij.[19] Pada masa yang jauh lebih awal dalam sejarah Islam, kelompok Khawarij, seperti halnya kelompok Wahhabi, memandang kaum Muslim yang tidak sepaham dengan doktrin-doktrin mereka sebagai orang-orang murtad yang boleh diperangi, jika bukan malah diwajibkan. Karena itu, kelompok Khawarij melancarkan operasi penyerangan terhadap mereka.

Tatkala kelompok Wahhabi menyebar ke seluruh semenanjung Arab pada pertengahan abad kedelapan belas, perilaku dan alasan yang mereka kemukakan sama sekali tidak berbeda. Maka, pada gerakan Khawarij itulah mungkin bisa ditemukan semacam anteseden historis bagi kelompok Wahhabi, bukan berkenaan dengan detail doktrin mereka, tetapi menyangkut cara interaksi mereka dengan kelompok lain. Sikap merendahkan kelompok Muslim yang bukan Wahhabi juga acapkali dibarengi dengan keharusan memberi kesetiaan pada kekuatan-kekuatan non-Muslim pada abad keduapuluh.

Perlu dicatat, misalnya, bahwa ‘Abd al-Aziz bin Sa‘ud, yang berkuasa dari 1902 hingga 1953, pernah berkata kepada St. John (“Abdullah”) Philby, perantaranya dengan Kantor Luar Negeri Inggris, bahwa ia lebih memilih kalangan Kristen daripada orang-orang Muslim yang bukan Wahhabi. Orang-orang Kristen, jelasnya, bertindak menurut agama mereka, sedangkan orang-orang Muslim yang tidak mengikuti pemahaman tawhid Wahhabi berarti melakukan dosa syirik. Singkatnya, lebih baik seorang Kristen daripada seorang Muslim yang bukan Wahhabi.[20] Sama sekali bukan hal yang mengherankan jika kesepakatan-kesepakatan keluarga Saudi dengan patron asing mereka sebagian dapat ditafsirkan sebagai penerjemahan sikap-sikap semacam itu ke dalam kebijakan.

Dalam kurun waktu lima belas tahun sesudah kelompok Wahhabi mendeklarasikan jihad, wilayah Arab yang luas telah ditaklukkan. Pertama, kelompok Saudi menaklukkan sebagian besar wilayah Najad. Lalu suku-suku di Arab Tengah ditaklukkan. Kemudian ‘Asir dan sebagian dari Yaman dikuasai mereka. Muhammad bin Sa‘ud meninggal pada 1180 H/1766 M dan digantikan oleh ‘Abd al-‘Aziz, yang mengabdikan dirinya dengan energi yang lebih besar dibandingkan pendahulunya demi perluasan kekuasaan Saudi dan penyebaran Wahhabisme dengan paksaan. Pada 1187 H/1773 M. ‘Abd al-‘Aziz menaklukkan Riyad, dan sekitar tujuh belas tahun berikutnya memulai ekspansi wilayah kekuasaannya yang lebih penting dengan mulai melirik Hijaz. Pada 1146 H/1733 M, sebelum memperoleh patronase dan dukungan Saudi, Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab pernah mengirim suatu utusan yang terdiri dari 30 orang ke Syarif Mekkah, Mas‘ud bin Sa‘id, untuk memohon izin bagi dirinya sendiri dan para pengikutnya untuk melaksanakan ibadah haji. Sang Syarif melihat bahwa Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab sesungguhnya juga bermaksud untuk menyebarkan ajaran-ajarannya kepada jamaah haji yang tengah berkumpul. Karena itu, sang Syarif menggelar debat antara para utusan Wahhabi itu dengan ulama Mekkah dan Madinah. Para utusan Wahhabi tidak dapat memenangkan debat tersebut, dan hakim di Mekkah menyatakan mereka kafir dengan mempertimbangkan sebuah prinsip terkenal, yang didasari atas hadis, bahwa siapa pun yang tanpa alasan kuat menuduh seorang Muslim sebagai kafir, maka sesunguhnya dia sendirilah yang kafir.

Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab meninggal pada 1206 H/1791 M, tidak lama sesudah bentrokan ‘Abd al-‘Aziz dengan penguasa Hijaz dimulai, namun hal ini tidak menghalangi rasa haus orang-orang Saudi untuk melakukan penaklukan dan pembantaian. Dalam waktu kurang dari satu dasawarsa, ajaran Wahhabi dipaksakan di Haramayn—kendati bersifat sementara—dengan kekuatan bersenjata.

Catatan Kaki

[15] ‘Unwân al-Majîd, h. 10.

[16] ‘Unwân al-Majîd, h. 12.

[17] Lihat di bawah h. 54.

[18] Eyüb Sabri Pasha, Tarih-i Vehhabiyan, Istambul, 1296/1879, h. 3-17

[19] Neşe Çağatay, “Vehhabilik”, Islam Ansiklopedisi, XIII, h. 267.

[20] Elizabeth Monroe, Philby of Arabia, London, 1973, h. 69-70.
LihatTutupKomentar