Penghancuran Rumah Kelahiran Nabi

Penghancuran Kubah kelahiran Nabi, Khadijah, Abu Bakar Al-Shiddiq dan Sayidina Ali Di Mekkah, kubah yang terdapat di atas rumah-rumah yang dikenal sebagai tempat kelahiran Nabi, Khadijah al-Kubra, Imam ‘Ali, dan Abu Bakr al-Shiddiq, dihancurkan. Selain itu, makam-makam dan mushalla-mushalla yang terdapat di tempat pemakaman bersejarah al-Ma‘la diratakan dengan tanah.
Penghancuran Rumah Kelahiran Nabi
Gambar: Tempat kelahiran Nabi (Maulid Nabi) di Makkah yang dihancurkan oleh Wahabi

Di Mekkah, kubah yang terdapat di atas rumah-rumah yang dikenal sebagai tempat kelahiran Nabi, Khadijah al-Kubra, Imam ‘Ali, dan Abu Bakr al-Shiddiq, dihancurkan. Selain itu, makam-makam dan mushalla-mushalla yang terdapat di tempat pemakaman bersejarah al-Ma‘la diratakan dengan tanah.

Judul buku: Wahabisme Sebuah Tinjauan Kritis
Penulis: Hamid Algar
Penerbit: Democracy Project
Tempat/Tahun terbit: Jakarta 2011
Diterjemahkan dari:
Wahhabism: A Critical Essay
(Oneonta, New York; Islamic Publication International, 2002)
Penulis: Hamid Algar
Penerjemah: Rudy Harisyah Alam
Editor: Ihsan Ali-Fauzi
Penyelaras Akhir: Achmad Rifki dan Saidiman

Daftar Isi

Penghancuran Kubah kelahiran Nabi, Khadijah, Abu Bakar Al-Shiddiq dan Sayidina Ali

Penaklukan Hijaz dan berbagai pembantaian yang menyertainya dimulai pada 1217 H/1802 M oleh penyerangan kelompok Saudi atas Kota Karbala di sebelah selatan Irak, tempat syahid dan dikuburnya Imam Husayn. Menurut sebagian keterangan, penyerangan itu berlangsung pada 10 Muharram, tanggal kaum Syi‘ah berkumpul untuk mengenang syahidnya Imam Husein. Jika memang benar penyerangan itu dilakukan pada tanggal
tersebut, hal itu pasti dipilih secara sengaja untuk memberikan dampak serangan dan kepedihan yang maksimal terhadap orang-orang Syi‘ah. Laporan nyata mengenai kebrutalan tersebut, yang diberikan oleh pencatat sejarah Saudi, ‘Utsman bin ‘Abdullah bin Bisyr, mencatat peristiwa itu terjadi tiga bulan lebih awal:

Pada tahun 1216 H. Sa’ud [anak ‘Abd al-‘Aziz] mulai bergerak dengan dukungan tentara dan pasukan kavaleri yang direkrutnya dari kalangan penduduk kota maupun suku-suku nomaden di Najad, dari wilayah selatan, dari Hijaz, Tihama dan tempat-tempat lainnya. Ia mencapai Karbala dan mulai memerangi penduduk kota al-Husayn itu. Ini terjadi pada bulan Dzu’l-Qa’dah. Kaum Muslim [yakni, kaum Wahhabi] menaiki tembok, memasuki kota secara paksa, dan membunuh mayoritas penduduk kota itu di pasar-pasar maupun di rumah-rumah mereka.

Lalu mereka menghancurkan kubah di atas makam al-Husayn yang dibangun oleh orang-orang yang percaya dengan hal-hal semacam itu. Mereka mengambil apa pun yang ada di dalam kubah itu dan di sekelilingnya. Mereka mengambil pagar-pagar teralis di sekeliling kubah itu yang dihiasi dengan batu zamrud, batu ruby dan batu-batu permata lainnya. Mereka menjarah apa pun yang ada di kota itu: berbagai macam harta-benda, senjata, pakaian, karpet, emas, perak, salinan-salinan al-Qur’an yang indah, dan benda-benda lainnya yang tak terbilang. Mereka tinggal di Karbala hingga pagi hari, dan siang harinya mereka pergi dengan membawa segala macam harta-benda yang telah mereka kumpulkan dan mereka telah membunuh sekitar dua ribu orang. Lalu Sa’ud pergi meninggalkan kota itu melewati jalan Ma’ al-Abyad. Di hadapan Sa’ud terkumpul harta jarahan.

Ia mengambil untuk dirinya sendiri seperlima bagian dari harta jarahan tersebut, lalu membagikan sisanya di antara kaum Muslim [yakni, kaum Wahhabi], dengan satu bagian untuk para prajurit pejalan kaki dan dua bagian bagi para prajurit berkuda. Lalu ia pulang ke rumah.[21]

Semua kejadian itu tampaknya berlangsung hanya dalam sehari.

Penaklukkan pertama kaum Wahhabi di Hijaz dilakukan terhadap Kota Thaif pada bulan Dzu ‘l-Qa’dah 1217/Februari 1803 setelah lama melakukan pengepungan dengan diselingi berbagai intrik dan negosiasi tanpa hasil. Di tempat ini lagilagi mereka melakukan pembantaian, membakar buku-buku selain al-Qur’an dan hadis yang mereka temukan, serta menghancurkan makam para sahabat Nabi sebanyak yang mereka
jumpai. Penulis kronik Saudi menggambarkan episode itu sebagai berikut:

‘Utsman [pembelot dari pasukan Ghalib, Syarif Mekkah] memasuki kota itu, bersama rombongan yang menyertainya. Tuhan memungkinkan mereka untuk mengambil alih kota itu dengan kekuatan tanpa pertempuran [sic], dan mereka membunuh sekitar 200 penduduk kota itu, di pasar dan di rumah-rumah mereka. Mereka mengambil
banyak harta dan barang-barang berharga seperti mata uang, senjata, pakaian dan perhiasan, yang jumlahnya tak ternilai dan tak terhitung… ‘Utsman mengirimkan semua harta itu kepada ‘Abd al-‘Aziz, yang kemudian mengangkatnya sebagai gubernur Tha’if dan seluruh wilayah Hijaz.[22]

Sekitar dua bulan kemudian, ‘Abd al-‘Aziz memasuki Mekkah dan memaksa ulama kota itu untuk berbaiat kepadanya. Akan tetapi, pendudukan pertama kelompok Wahhabi ini tidak berlangsung lama karena Syarif Ghalib mampu merebut kembali kota itu dua bulan setengah kemudian.

Tidak lama kemudian, ‘Abd al-Aziz dibunuh di al-Dir‘iyyah oleh seorang bernama ‘Utsman, yang digambarkan secara berbeda-beda sebagai seorang darwis Kurdi dari Mosul yang berpura-pura sebagai pengikut Wahhabisme yang bersemangat dan sebagai seorang Syi‘ah—mungkin Afghan—dari Karbala yang berusaha melakukan balas dendam atas pembantaian yang dilakukan di kota itu.[23]

‘Abd al-‘Aziz segera digantikan oleh anaknya Sa‘ud, penjagal di Karbala, dan kampanye penaklukan terus dilanjutkan nyaris tanpa jeda. Pada bulan Muharram 1220/April 1805, tentara Wahhabi-Saudi menaklukkan Madinah dan pada bulan Dzu ‘l-Qa‘dah 1220/ Januari 1806 menguasai Mekkah untuk kedua kalinya. Pendudukan Haramayn ini bertahan hingga akhir 1227 H/1812 M, yakni periode enam tahun setengah yang selama masa itu doktrin Wahhabi dipaksakan pada penduduk Mekkah dan Madinah, dan kaum Wahhabi terlibat dalam kegiatan yang menjadi ciri khas mereka, yakni penghancuran kubah.

Penghancuran Rumah Kelahiran Nabi, Khadijah, Abu Bakar, Ali oleh Wahabi

Di Mekkah, kubah yang terdapat di atas rumah-rumah yang dikenal sebagai tempat kelahiran Nabi, Khadijah al-Kubra, Imam ‘Ali, dan Abu Bakr al-Shiddiq, dihancurkan. Selain itu, makam-makam dan mushalla-mushalla yang terdapat di tempat pemakaman bersejarah al-Ma‘la diratakan dengan tanah. Di Madinah, aset-aset yang terdapat di Masjid Nabi dijarah, namun upaya untuk menghancurkan kubah yang menaungi makam Nabi tidak dilakukan tatkala secara misterius beberapa orang yang ditugasi untuk melakukan penghancuran itu terjatuh hingga mati. Namun, seluruh bangunan dan nisan di lokasi pemakaman yang dikenal sebagai Jannah al-Baqi‘, yang terhubung dengan Masjid Nabi, dihancurkan. Di sana terdapat makam para istri dan sahabat Nabi, beberapa Imam Ahl al-Bayt, dan beberapa tokoh dalam sejarah intelektual dan spiritual Islam. Sebelumnya, ketika masih terbebas dari tekanan kelompok Wahhabi, ulama Haramayn secara tegas menolak doktrin-doktrin Wahhabisme.

Namun, kini mereka dipaksa untuk menerima doktrin-doktrin tersebut. Di antara langkah-langkah yang dipaksakan kepada mereka dan penduduk awam di kedua kota itu adalah diwajibkannya pelaksanaan salat lima waktu secara berjamaah; diwajibkannya indoktrinasi ajaran-ajaran Wahhabi terhadap para ulama maupun masyarakat awam; penghancuran buku-buku yang dianggap mendukung syirik—termasuk, misalnya, karya
al-Jadzuli Dalâ’il al-Khayrât dan karya al-Yafi‘i Raud al-Rayâhîn.

Selain itu, dilakukan pelarangan terhadap sejumlah hal berikut, seperti cara-cara salat sebagaimana yang ditetapkan oleh Mazhab Hanafi dan Maliki; penggunaan tasbih; peringatan Maulid Nabi, khususnya pembacaan syair-syair; pembacaan sejumlah hadis sebelum khutbah Jumat; memiliki atau merokok tembakau dan minum kopi (kendati yang terakhir ini hanya berlangsung sementara). Lebih dari itu, rombongan haji dari Syria dan Mesir, yang dianggap membawa wabah syirik, ditolak masuk ke Haramayn.

Pendudukan kaum Wahhabi atas Haramayn memaksa Kerajaan Utsmani bertindak tegas. Prestise mereka sebagai pelindung Islam Sunni dan pewaris kekhalifahan tergantung paling tidak secara nominal pada kontrol atas Haramayn, yang dalam pelaksanaan otoritas mereka di lapangan acapkali disaingi oleh para Syarif Mekkah. Beberapa sejarawan Arab yang beraliran nasionalis, setidaknya generasi yang lebih awal, tergoda untuk melihat gerakan Wahhabi sebagai suatu pemberontakan proto-nasionalis, yang bertujuan “membebaskan bangsa Arab dari kekuasaan Imperium Utsmani.” Belakangan, pemerintah Saudi beranggapan bahwa penaklukan pertama kaum Wahhabi atas semenanjung Arab menimbulkan “kecemburuan di pihak Imperium Utsmani” dan mengilhami keinginan “untuk mengakhiri bangsa yang baru tumbuh.”[24] Penggambaran semacam itu sama sekali bersifat anakronistik: ideologi Wahhabi tidak memiliki kaitan dengan nasionalisme, dan bisa dipersoalkan apakah bangsa Saudi ada, bahkan hingga sekarang. Betapapun dapat dikemukakan argumen bahwa baik kemunculan
pertama negara Wahhabi-Saudi pada akhir abad kedelapanbelas dan awal abad kesembilanbelas, serta konsolidasi dan ekspansinya pada abad keduapuluh, terjadi dalam konteks upaya pencaplokan bangsa Eropa atas wilayah Arab dan karena itu berperan sebagai faktor pemecah- belah guna melemahkan kaum Muslim. Sebagaimana ditunjukkan oleh sejarawan Ahmad Zayni bin Dahlan, Kerajaan Utsmani pada saat bersamaan menghadapi dua “gangguan”: invasi pasukan Napoleon atas Mesir dan penaklukan Wahhabi atas wilayah Arab.

Bahkan, bukan hal yang mustahil apabila kaum Saudi bekerja sama dengan Prancis. Pada waktu itu Prancis bukanlah satu-satunya musuh yang harus dihadapi Kerajaan Utsmani. Permusuhan yang mencuat kembali baik dengan Rusia maupun Austria juga terjadi. Dengan mempertimbangkan berbagai gangguan tersebut, setelah serangkaian serangan terhadap kaum Wahhabi yang dilancarkan gubernur Basrah berakhir dengan kegagalan, pihak Utsmani memberi tugas kepada gubernur Mesir Muhammad ‘Ali Pasha untuk membebaskan Haramayn. Pada 1226 H/1811 M Muhammad ‘Ali Pasha mendarat di pelabuhan Yanbu‘ di pantai Laut Merah, dan di penghujung tahun berikutnya ia dapat membebaskan Madinah, dan tiga bulan kemudian, Mekkah.

Kaum Saudi melarikan diri kembali ke Najad. Mereka dikejar oleh pasukan Muhammad ‘Ali Pasha, yang berhasil menguasai dan menghancurkan ibu kota mereka al-Dir‘iyyah pada 1234 H/1819 M. Dua orang cucu dari Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dieksekusi, dan ‘Abdullah bin Sa‘ud dikirim ke Istanbul. Di sana ia juga dijatuhi hukuman mati berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Mustafa Asim Effendi, Syaikh al-Islam pada masa itu. Orang-orang Saudi-Wahhabi lainnya disebar ke berbagai tempat di sekeliling kota untuk menjalani eksekusi publik. Hal itu dilakukan untuk memperlihatkan contoh hukuman yang akan diberikan Kerajaan Utsmani kepada orang-orang yang menggabungkan ambisi politik dengan penyimpangan agama, kendati terjadi pada masa yang relatif sudah terlambat dalam sejarah mereka.[konsultasyariah.in]

Catatan Kaki

[21] ‘Unwân al-Majîd, h. 121-122.

[22] ‘Unwân al-Majîd, h. 123.

[23] ‘Unwân al-Majîd, h. 125-126. Mengenai dugaan identitas Afghannya, lihat ‘Abbas al-‘Azzawi, Tarikh al-‘Iraq bayna Ibtilalayn, Baghdad, 1956, VI, h. 160.

[24] “King Fahd of Saudi Arabia”, lembaran iklan dalam The Economist, 17-23 November 2001.
LihatTutupKomentar