Ajaran-ajaran Wahabi

Ajaran-ajaran Wahabi berpusat pada definisi tauhid yang pada dasarnya terdiri dari tiga bagian: tawhîd al-rubûbiyyah tawhîd al-asmâ’ wa ‘l-sifat tawhîd al-‘ibâdah [seluruh ibadah hanya ditujukan kepada Allah]. dan konsep bid'ah
Ajaran-ajaran Wahabi
Ajaran-ajaran Wahabi berpusat pada definisi tauhid yang pada dasarnya terdiri dari tiga bagian: tauhîd al-rubûbiyyah tawhîd al-asmâ’ wa ‘l-sifat tawhîd al-‘ibâdah [seluruh ibadah hanya ditujukan kepada Allah] di tambah konsep bid'ah.

Judul buku: Wahabisme Sebuah Tinjauan Kritis
Penulis: Hamid Algar
Penerbit: Democracy Project
Tempat/Tahun terbit: Jakarta 2011
Diterjemahkan dari:
Wahhabism: A Critical Essay
(Oneonta, New York; Islamic Publication International, 2002)
Penulis: Hamid Algar
Penerjemah: Rudy Harisyah Alam
Editor: Ihsan Ali-Fauzi
Penyelaras Akhir: Achmad Rifki dan Saidiman

Daftar Isi

Ajaran-ajaran Wahabi: Tauhid Ubudiyah, Uluhiyah, asma was shifat

Kini mari kita coba melihat secara lebih detail ajaran-ajaran khas Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab. Ajaran-ajaran itu berpusat pada definisi tauhid yang pada dasarnya terdiri dari tiga bagian: tawhîd al-rubûbiyyah (pengakuan bahwa hanya Allah semata yang memiliki sifat rabb, penguasa dan pencipta dunia, Yang menghidupkan dan mematikan); tawhîd al-asmâ’ wa ‘l-sifat (hanya membenarkan nama-nama dan sifat-sifat yang disebut dalam Al-Quran, tanpa disertai upaya untuk menafsirkan, dan tidak diperbolehkannya untuk menerapkan nama-nama itu kepada siapapun selain Tuhan, bahkan seperti karim [dermawan], misalnya); dan tawhîd al-‘ibâdah [seluruh ibadah hanya ditujukan kepada Allah].

Bentuk tauhid yang terakhir ini adalah yang terpenting dalam pandangan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, baik dalam skema doktrinnya yang kaku maupun dalam penilaiannya yang cenderung memandang rendah kondisi kaum Muslim selama berabad-abad. Dalam menolak seluruh konsensus ulama sebelumnya, ia menganggap komponen pertama tauhid sebagai sekadar pengakuan verbal, yang tidak memiliki nilai pada dirinya sendiri dan tentu tidak memadai untuk mencapai kualitas sebagai Muslim. Karena, menurutnya, bahkan kalangan politeis Arab pra-Islam telah memercayainya.[1] Ia juga tidak memperlihatkan perhatian yang besar untuk mengelaborasi bentuk kedua tauhid, selain hanya mengulangi rumusan-rumusan Ibnu Taimiyyah yang mengecam antropomorfisme.

Bentuk tauhid yang ketigalah, menurut Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab yang menjadi batas tegas antara Islam dan kufur, antara tauhid dan syirik. Termasuk dalam argumennya ialah bahwa prinsip tawhîd al-‘ibâdah ini diwahyukan kepada Nabi bahkan sebelum kewajiban-kewajiban ibadah seperti salat, zakat, puasa dan haji yang memungkinkan prinsip itu diterjemahkan ke dalam praktik, dan karena itu memiliki nilai yang lebih unggul dibandingkan kewajiban-kewajiban ibadah tersebut.

Seperti halnya tawhîd al-rubûbiyyah tidak cukup untuk menjadikan diri seseorang sebagai Muslim, orang juga tidak dapat mencapai kualitas sebagai Muslim dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya jika ia melanggar prinsip tawhîd al-‘ibâdah sebagaimana didefinisikan oleh sekte Wahhabi.

Pelanggaran semacam itu terjadi manakala suatu kegiatan ibadah melibatkan suatu pihak selain si pelaku ibadah itu sendiri dan Tuhan. Ada sejumlah contoh, seperti doa yang di dalamnya disebut nama Nabi atau orang-orang yang dimuliakan lainnya dengan harapan bahwa permohonan seseorang lebih berperluang untuk dikabulkan,dengan menggunakan ungkapan seperti bi-hurmati…; isti‘ânah dan istighâtsah, meminta
bantuan dalam perkara-perkara duniawi atau spiritual dengan bentuk kata-kata yang menyiratkan harapan akan bantuan dari seseorang, alih-alih dari Tuhan, bahkan kendati orang itu secara tersirat dipandang sebagai penyalur pertolongan Tuhan; tawassul, berkaitan dengan seseorang, betapa pun dimuliakannya, sebagai sarana untuk memfasilitasi seseorang untuk mendekat kepada Tuhan; menisbatkan sifat hidup dan perantaraan kepada orang yang telah mati dengan menyebut mereka ketika berdoa, meski orang itu bukan menjadi objek ibadah; harapan, atau keinginan, akan syafâ‘ah (pertolongan) para nabi, wali, syahid dan orang-orang yang dimuliakan lainnya; tabarruk (mencari keberkahan) di kuburan-kuburan mereka; ziyârah, mengunjungi makam sebagai tindakan yang dilakukan semata-mata untuk tujuan dan niat berkunjung; pembangunan kubah atau bangunan di atas makam. Semua hal itu mengakibatkan pelanggaran atas tawhîd al-‘ibâdah dan menjadikan pelakunya sebagai musyrik. Dengan kata lain, tawhîd al-‘ibâdah hanya dapat didefinisikan secara negatif, dalam arti menghindari praktik-praktik tertentu; bukan secara afirmatif. Hal ini menjadikan perasaan takut terhadap apa yang dianggap sebagai penyimpangan sebagai pusat doktrin Wahhabisme, dan ini membantu menjelaskan mengapa Wahhabisme memiliki watak yang sangat keras. Namun, seluruh praktik yang dianggap menyimpang, yang baru saja didaftar di atas, dapat dibenarkan bukan hanya dengan mengacu pada tradisi dan konsensus, tetapi juga pada hadis, sebagaimana telah dijelaskan oleh banyak ulama, baik Sunni maupun Syi‘ah, yang telah membahas fenomena Wahhabisme.

Bahkan jika pun bukan itu persoalannya, dan seandainya kepercayaan bahwa ziyarah atau tawassul adalah sahih dan bermanfaat ternyata keliru, tidak ada alasan logis untuk mengutuk kepercayaan itu sebagai sesuatu yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam.[2] Karena, kekeliruan yang melandasi tindakan kaum Wahhabi mencap seluruh praktik itu sebagai syirik adalah pencampuradukan antara sarana dan tujuan.

Itu berarti suatu anggapan bahwa apa yang dicari dari Tuhan melalui sarana seseorang, baik yang masih hidup maupun sudah mati, pada kenyataannya dicari dari orang tersebut, terlepas dari kehendak, rahmat, dan kebaikan Tuhan.[3]

Konsekuensi dari mencap orang Muslim selain pengikut Wahhabi sebagai musyrik adalah bahwa memerangi mereka bukan saja boleh, melainkan wajib. Karena itu, menumpahkan darah mereka, menjarah harta mereka dan menjadikan perempuan dan anak-anak mereka sebagai budak adalah tindakan yang dibenarkan. Seperti yang tampak jelas dari peristiwa di Karbala dan Thaif pada 1217 H/1803 M, kaum Wahhabi sama sekali tidak segan untuk melakukan pembantaian dalam rangka memaksakan doktrin mereka terhadap penduduk di kedua kota itu.

Konsep Bid'ah

Ciri khas lain ajaran Wahhabi adalah konsep bidah (bid‘ah, praktik baru dalam perkara agama) yang bersifat luas dan tanpa pandang bulu. Konsep ini didefinisikan sebagai “perkara baru yang tidak diikuti oleh para sahabat atau pengikut (tâbi‘în) dan bukan bagian dari apa yang diharuskan oleh dalil hukum (dalil syar‘i).” Bi’dah biasanya dipasangkan sebagai lawan negatif dari sunnah. Dengan demikian, menegakkan sunnah melibatkan tindakan meninggalkan bid’ah.[4] Namun, pemahaman yang lebih luas dan lebih positif harus dipertimbangkan.

Ulama Syafi‘i ‘Izz al-Din bin ‘Abd al-Salam, misalnya, berpendapat bahwa boleh saja berbicara tentang bid‘ah hasanah (praktik baru yang baik), dan bahwa seluruh bentuk bid’ah tergolong dalam lima kategori: wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.[5]

Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab lebih memilih pemahaman konsep itu yang seluruhnya negatif dan didefinisikan secara kronologis: bid’ah adalah seluruh praktik atau konsep keagamaan yang baru ada setelah abad ketiga Hijriyah. Dengan demikian, periode perkembangan konsep atau praktik keagamaan baru yang bisa diterima tidak hanya meliputi dua generasi pertama kaum Muslim, yakni generasi sahabat dan tâbi‘în, tetapi juga periode para imam empat mazhab fikih Sunni. Namun, melakukan tindakan taqlîd (mengikuti secara konsisten salah satu dari empat mazhab fikih tersebut) dipandang sebagai bid’ah selama hal itu melibatkan pemberian otoritas kepada segala sesuatu selain al-Qur’an dan Sunnah.

Bid’ah juga dipandang telah mencengkram kaum Muslim dalam berbagai praktik lainnya yang lebih berbahaya. Daftar bid’ah mencakup— kendati tidak terbatas pada — berbagai bentuk zikir dan ritual lainnya yang dipraktikkan oleh tarekat-tarekat sufi; adat-istiadat popular yang biasanya berkaitan dengan peristiwa-peristiwa penting, seperti Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha; ungkapan salawat dan salam kepada Nabi sebagai amalan ibadah, khususnya ketika diakhiri dengan penggunaan ungkapan atau teks-teks seperti yang terdapat dalam Dala’il al-Khairat karya al-Jazuli; serta peringatan kelahiran Nabi Muhammad, terutama ketika disertai dengan upacara-upacara formal dan, lagi-lagi, pembacaan teks-teks seperti qasidah al-Barzanji yang terkenal.

Kepercayaan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab bahwa bid’ah—belum lagi syirik— telah menyesatkan komunitas Muslim selama sembilan ratus tahun adalah salah satu faktor yang membuatnya memisahkan diri dari gerakan-gerakan pembaruan yang sezaman dengannya.

Mereka berpegang pada persepsi tradisional bahwa komunitas Muslim secara periodik membutuhkan pembaruan dan pemurnian, dan bahwa kebutuhan ini akan dipenuhi, sesuai dengan hadis-hadis tertentu, dengan kemunculan seorang mujaddid (“pembaru”) setiap seratus tahun sekali. Dari sudut pandang Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, tampaknya tidak ada pembaru semacam itu sejak tahun 299 H, atau jika pun ia ada, maka ia gagal untuk melihat perkembangan bi’dah yang demikian menjamur, sehingga sesungguhnya Islam tidak diamalkan selama enam ratus tahun lebih. Dengan demikian, Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab tidak hanya mengecam dan memerangi orang-orang sezamannya, tetapi juga memerangi generasi pendahulu mereka.[konsultasyariah.in]

Catatan Kaki

[1] Lihat Lampiran A

[2] Lihat Lampiran C.

[3] Menarik untuk dicatat sekilas bahwa banyak omong-kosong yang telah ditulis oleh para sarjana Barat mengenai apa yang mereka istilahkan sebagai “menyembah kuburan” (tomb worship) atau “penyembahan orangorang suci” (the worship of saints) di Dunia Islam, yang dengan demikian secara tersirat membenarkan tesis kaum Wahhabi bahwa berziarah dan berdoa di kuburan, kendati tidak ditujukan kepada orang yang dikuburkan di situ, merupakan sejenis tindakan menyembah kuburan.

[4] Al-Syarif al-Jurjani, Kitab Ta‘rifat, Beirut, 1403/1983, h. 43.

[5] Dikutip dalam Rahmi Yaran, “Bid‘at”, Turkiye Diyanet Vakfi Islam Ansiklopedisi, VI, h. 129.
LihatTutupKomentar