Definisi Ju’alah

Definisi, pengertian dan hukum Ju’alah Ju’alah; 1. Adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan (reward/’iwadh/ju’l) tertentu atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan.
Definisi, pengertian dan hukum Ju’alah

Ju’alah;

1. Adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan (reward/’iwadh/ju’l) tertentu atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan.

2. Adalah akad dengan pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas atau pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama. Prinsip ini diterapkan oleh bank dalam menawarkan pelayanan dengan mengambil fee dari nasabah. Contoh Referensi Bank, dukungan Bank.

3. Artinya janji hadiah atau upah. Pengertian secara etimologi berarti upah atau hadiah yang diberikan kepada seseorang karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan tertentu.

Secara terminologi fikih berarti “suatu Iltizaam (tanggung jawab) dalam bentuk janji memberikan imbalan upah tertentu secara sukarela terhadap orang yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan.

Umpamanya, seseorang berkata: “Siapa saja yang dapat menemukan SIM atau KTP saya yang hilang, maka saya beri imbalam upah lima puluh ribu rupiah”. Dalam masyarakat Indonesia ini, biasanya diiklankan di surat kabar supaya dapat dibaca orang.

Mazhab Maliki mendefinisikan Ju’alah: “Suatu upah yang dijanjikan sebagai imbalan atas suatu jasa yang belum pasti bisa dilaksanakan oleh seseorang.

Mazhab Syafi’i mendefinisikannya: “Seseorang yang menjanjikan suatu upah kepada orang yang mampu memberikan jasa tertentu kepadanya”.

Definisi pertama (Mazhab Maliki) menekankan segi ketidakpastian berhasilnya perbuatan yang diharapkan. Sedangkan definisi kedua (Mazhab Syafi’i) menekankan segi ketidakpastian orang yang melaksanakan pekerjaan yang diharapkan.

Meskipun Ju’alah berbentuk upah atau hadiah sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qudamah (Ulama Mazhab Hanbali), ia dapat dibedakan dengan ijarah (transaksi upah) dari lima segi:

(1) Pada Ju’alah upah atau hadiah yang dijanjikan, hanyalah diterima orang yang menyatakan sanggup mewujudkan apa yang menjadi objek pekerjaan tersebut, jika pekerjaan itu telah mewujudkan hasil dengan sempurna. Sedangkan pada ijarah, orang yang melaksanakan pekerjaan tersbut berhak menerima upah sesuai dengan ukuran atau kadar prestasi yang diberikannya, meskipun pekerjaan itu belum selesai dikerjakan, atau upahnya dapat ditentukan sebelumnya, apakah harian atau mingguan, tengah bulanan atau bulanan sebagaimana yang berlaku dalam suatu masyarakat.

(2) Pada Ju’alah terdapat unsur gharar, yaitu penipuan (spekulasi) atau untung-untungan karena di dalamnya terdapat ketidaktegasan dari segi batas waktu penyelesaian pekerjaan atau cara dan bentuk pekerjaannya. Sedangkan pada ijarah, batas waktu penyelesaian bentuk pekerjaan atau cara kerjanya disebutkan secara tegas dalam akad (perjanjian) atau harus dikerjakan sesuai dengan objek pekerjaan itu. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa dalam Ju’alah yang dipentingkan adalah keberhasilan pekerjaan, bukan batas waktu atau cara mengerjakannya.

(3) Pada Ju’alah tidak dibenarkan memberikan upah atau hadiah sebelum pekerjaan dilaksanakan dan mewujudkannya. Sedangkan dalam ijarah, dibenarkan memberikan upah terlebih dahulu, baik keseluruhan maupun sebagian, sesuai dengan kesepakatan bersama asal saja yang memberi upah itu percaya.

(4) Tindakan hukum yang dilakukan dalam Ju’alah bersifat sukarela, sehingga apa yang dijanjikan boleh saja dibatalkan, selama pekerjaan belum dimulai, tanpa menimbulkan akibat hukum. Apalagi tawaran yang dilakukan bersifat umum seperti mengiklankan di surat kabar. Sedangkan dalam akad ijarah, terjadi transaksi yang bersifat mengikat semua pihak yang melakukan perjanjian kerja. Jika perjanjian itu dibatalkan, maka tindakan itu akan menimbulkan akibat hukum bagi pihak bersangkutan. Biasanya sangsinya disebutkan dalam perjanjian (akad).

(5) Dari segi ruang lingkupnya Mazhab Maliki menetapkan kaidah, bahwa semua yang dibenarkan menjadi objek akad dalam transaksi ju’alah, boleh juga menjadi objek dalam transaksi ijarah. Namun, tidak semua yang dibenarkan menjadi objek dala transaksi ijarah, dibenarkan pula Menjadi Objek dalam transaksi Ju’alah.

Dengan demikian, ruang lingkup ijarah lebih luas daripada ruang lingkup Ju’alah. Berdasarkan kaidah tersebut, maka pekerjaan menggali sumur sampai menemukan air, dapat menjadi objek dalam akad ijarah, tetapi tidak boleh dalam akad Ju’alah.

Dalam ijarah, orang yang menggali sumur itu sudah dapat menerima upah, walaupun airnya belum ditemukan. Sedangkan pada ju’alah, orang itu baru mendapat upah atau hadiah sesudah pekerjaannya itu sempurna.

Sumber: https://sharianomics.wordpress.com/2010/11/17/definisi-jualah/
LihatTutupKomentar