Wahabi dan Muhammadiyah: Beda dan Persamaan

Perbedaan dan persamaan antara Wahabi dan Muhammadiyah menurut Abdul Muqsith Ghozali, tokoh muda NU
Wahabi dan Muhammadiyah: Beda dan Persamaan
Perbedaan dan persamaan antara Wahabi dan Muhammadiyah menurut Abdul Muqsith Ghozali, tokoh muda NU

Pertama, baik pengikut Wahabi maupun Abduh sama-sama menggunakan slogan “al-ruju’ ila al-quran wa al-hadits” atau kembali kepada Quran dan Hadis. Kalangan Wahabi menerapkan doktrin ini dengan melakukan penafsiran atas Quran dan hadis secara tekstual.

Baca juga:

- Akidah Muhammadiyah sama dengan Wahabi
- Perbedaan dan Persamaan Muhammadiyah dan Wahabi
- Athaillah: Hubungan Muhammadiyah dan Wahabi

Sementara bagi para pengikut Muhammad Abduh, di Indonesia diwakili oleh Harun Nasution misalnya, menjalankan doktrin tersebut dengan mengutamakan argumen rasional. Karenanya, produk pemikiran yang dilahirkan keduanya akan berbeda, bahkan bisa dikatakan bertolak-belakang.

Misalnya dalam persoalan poligami, orang-orang yang berkiblat kepada Muhammad bin Abdul Wahab akan menafsirkan ayat Quran tentang poligami sebagai justifikasi atas perilaku ini, tetapi bagi kelompok Abduh tentu artikulasi penafisrannya akan berbeda.

Persamaan kedua, baik Wahabisme maupun Abduhisme sama-sama menolak bermazhab. Namun berbeda dengan kelompok Abduh yang mendukung kebebasan berpikir, kelompok Wahabi justru mendirikan mazhab baru. Menurut Moqsith, konsekuensi dari sikap anti-mazhab oleh Wahabi ini bisa berakibat fatal.

Sebab melalui doktrin tersebut, mereka terkungkung dalam lingkar pemikiran tiga ulama yang menjadi rujukan utamanya: Nasirudin al-Albani, Muhammad bin Abdul Wahab dan Abdullah bin Baz. Sehingga, lanjut Moqsith, parameter kebenaran bagi kalangan Wahabi hanya terbatas pada pemikiran tiga ulama tersebut.

Persinggungan selanjutnya antara para pengikut Abduh dengan Wahabi adalah penolakan mereka terhadap aliran tasawuf. “Di sinilah Wahabi dengan Abduh ketemu, menghajar kelompok-kelompok tradisionalis. Islam Nusantara kena juga di sini,” jelas Moqsith.

Baik Wahabi maupun Abduh, sama-sama memiliki penekanan yang kuat terhadap ajaran tauhid, inilah persinggungan mereka berikutnya. Namun lagi-lagi konsekuensinya sangat bertolak-belakang bagi kedua kubu ini. “Dengan menuhankan Tuhan yang satu, Allah yang esa, dampak dari konsep tauhid dalam pemikiran Muhammad Abduh adalah merelatifkan selain Allah,” terang Moqsith.

Ia melanjutkan, “nanti ujungnya, orang seperti Ali Abd al-Raziq, misalnya, menolak segala tindakan dan perilaku politik Nabi Muhammad ketika berada di Madinah. Karena tindakan politik Nabi di Madinah itu tidak menjadi bagian dari risalah kenabian.”

Tetapi pemikiran demikian tidak ada pada kalangan Wahabi. Konsekuensi buruk dari konsep tauhid yang mereka anut malah melahirkan takfiri, mengafirkan orang-orang Islam yang memiliki pandangan berbeda dengan mereka. Sehingga, Wahabi dianggap memerangi orang-orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala.

Di dalam sejarahnya, orang-orang Wahabi memanfaatkan kerja sama dengan Barat untuk menghajar kalangan Muslim tertentu. Ini juga yang menjadi persinggungan selanjutnya antara kalangan Wahabi dengan para pengikut Abduh, kedekatan mereka dengan Barat.

Tetapi para pengikut Abduhi adalah mereka yang terkagum-kagum terhadap kemajuan ilmu pengetahuan Barat, di sinilah perbedaannya. Lain halnya dengan pengikut Abduh yang bersintesa dengan Barat untuk mengambil aspek ilmu pengetahuan mereka, kelompok Wahabi memanfaatkan kerjasama dengan Barat untuk memerangi kelompok Islam sendiri.

Kecenderungan yang sama dari dua kubu ini juga bisa terlihat dari sikap ketus yang mereka tunjukkan terhadap kebudayaan lokal. Banyak tradisi masyarakat yang tidak mendapatkan tempatnya dalam ajaran dua kelompok ini. Misalnya seperti ziarah kubur, yang bagi masyarakat Indonesia, Jawa khususnya, ini merupakan tradisi yang sulit dipangkas begitu saja.

Moqsith juga menjelaskan bahwa Muhammadiyah seringkali berada di antara dua posisi itu, kadang dia mendekat kepada Wahabisme, kadang dia mendekat kepada Abduhisme. Karena itu, lanjut Moqsith, di Indonesia terdapat 14 ma’had (pesantren) yang berafiliasi kepada LIPIA, dan semuanya berada di bawah naungan perguruan tinggi milik Muhammadiyah.

Ke-14 ma’had tersebut memang menamakan diri sebagai lembaga bahasa, namun seringkali ideologi Wahabi menyelinap masuk di dalam contoh-contoh gramatikal bahasa arab yang mereka ajarkan.

Sumber: Islamlib

***

IMM Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga menyatakan:

Wahhabiyyah merupakan salah satu aliran dalam Islam yang lahir di Nejd (Saudi Arabia). Didirikan oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab (1115 H-1206 H/1703-1787 M) di desa ‘Uyaynah yang terletak di Nejed. Gerakan itu terbentuk, bukan merupakan respon dan reaksi terhadap suasana politik di Nejed seperti yang dilakukan di Kerajaan Utsmani dan Mughol, melainkan sebagai respon dan reaksi terhadap pemahaman tauhid yang berkembang di masyarakat Muslim waktu itu. Menurut Muhammad ibn Abd al-Wahhab, pemahaman masyarakat ketika itu sudah menyimpang dari paham tauhid yang sebenarnya. Kemurnian tauhid mereka telah dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat yang semenjak abad ke-13 M telah tersebar luas di dunia Islam. Inilah alasan utama berdirinya gerakan Wahhabi. Melakukan pembaharuan dengan segala cara untuk membawa umat menuju “akidah yang lurus”, terbebas dari segala noda kesyirikan. (Lihat (Harun Nasution, 1975)

Sementara Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 M. Dengan latar belakang lahir di keluarga seorang ulama, beliau mendapat pengajaran agama secara matang dan mendalam. Merasa tidak cukup dengan berbagai ilmu pengetahuan agama telah didapat di berbagai pondok pesantren di Jawa, pada 1890 beliau berangkat ke Mekkah untuk berguru disana, salah satunya pada Syekh Ahmad Khatib, seorang ulama dari Indonesia yang menetap di Mekkah. Selama di Mekkah, K.H. Ahmad Dahlan bertemu dengan Sayid Muhammad Rasyid Ridha, salah satu murid Syekh Muhammad Abduh, tokoh pembaharuan Islam di Mesir. Padahal saat itu, tokoh Abduh dan Rasyid Ridha dengan kitab tafsirnya al-Manar dianggap sebagai sosok liberal. Setelah pertemuan itu, ditambah dengan begitu mirisnya realitas masyarakat di tanah air ketika itu, yang tidak hanya terjajah secara fisik, namun juga terjajah agamanya, membuat K.H. Ahmad Dahlan mempunyai keinginan yang besar untuk melakukan pembaharuan di Indonesia. (Lihat A. Athailah, 2012)

Dapat ditarik kesimpulan bahwa Muhammadiyah dan Wahhabiyah memiliki beberapa kesamaan sebagai gerakan purifikasi, namun kecenderungan dan metode keduanya jauh berbeda. Tidak dipungkiri, ada beberapa warga Muhammadiyah yang memiliki keanggotaan ganda atau istilah kasarnya “disusupi”. Di beberapa tempat, terutama di luar pulau Jawa, mulai adanya upaya “pengambil alihan” masjid/mushalla milik Muhammadiyah yang kemudian dijadikan lahan untuk mengembangkan paham salafi-wahabi (Lihat misalnya artikel Abdul Munir Mulkhan Sendang Ayu).
***

Kalaupun Muhammadiyah lebih senang disebut sebagai gerakan pembaruan yang dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, maka itu semakin menguatkan pandangan bahwa Muhammadiyah secara pemikiran akidah berafiliasi pada gerakan Salafi. Karena, Kedua tokoh ini dikenal sebagai kalangan ulama Salafi. Apabila demikian, maka semakin dekatlah persamaan dengan Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri Wahabi. Karena Muhammad bin Abdul Wahab adalah tokoh penting yang membawa gerakan Salafi menjadi dikenal secara fenomenal di seluruh dunia berkat bantuan negara petro dolar Arab Saudi.

LihatTutupKomentar