Wahabi Ahlussunnah Wal Jamaah atau Bukan?

Wahabi Ahlussunnah Wal Jamaah atau Bukan? sejak awal, para ulama Sunni telah mengamati bahwa kelompok Wahhabi tidak termasuk bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Hal itu disebabkan oleh karena hampir seluruh praktik, tradisi, dan kepercayaan yang dikecam oleh Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab secara historis telah merupakan bagian integral Islam Sunni,
Wahabi Ahlussunnah Wal Jamaah atau Bukan?
... banyak ulama yang sezaman dengan kemunculan awal Wahhabisme mencap para pengikut Wahabi berada di luar AhlusSunnah wa al-Jamâ‘ah. Bahwa kaum Wahhabi kini dianggap sebagai Sunni, hal itu mengindikasikan bahwa istilah “Sunni” telah diberi makna yang sangat longgar, yakni sekadar pengakuan terhadap legitimasi empat khalifah yang pertama (yang dipandang kaum Sunni sebagai al-Khulafâ’ al-Râsyidûn).

Daftar Isi
Judul buku: WAHHABISME Sebuah Tinjauan Kritis
Penulis: Hamid Algar
Penerbit: Democracy Project
Tempat/Tahun terbit: Jakarta 2011
Diterjemahkan dari:
Wahhabism: A Critical Essay
(Oneonta, New York; Islamic Publication International, 2002)
Penulis: Hamid Algar
Penerjemah: Rudy Harisyah Alam
Editor: Ihsan Ali-Fauzi
Penyelaras Akhir: Achmad Rifki dan Saidiman


BAB 1: PENDAHULUAN

Buku yang disajikan ke hadapan pembaca ini adalah semacam survei terbatas mengenai sejarah, doktrin dan arti penting Wahhabisme dewasa ini. Orang-orang yang bersimpati pada ajaran-ajaran yang disebut sebagai Wahhabisme di sini mungkin keberatan dengan penggunaan istilah tersebut karena istilah itu diberikan oleh orang-orang yang berada di luar gerakan tersebut, dan kerap kali dengan makna yang terkesan buruk. Kaum Wahhabi sendiri lebih memilih istilah al-Muwahhidûn atau Ahl al-Tawhîd untuk menamakan kelompok mereka.

Namun, nama yang mereka gunakan itu sendiri justru mencerminkan keinginan untuk menggunakan secara eksklusif prinsip tawhid yang merupakan landasan pokok Islam. Hal ini menyiratkan pengabaian terhadap seluruh kaum Muslim lainnya yang mereka cap telah melakukan syirik.

Tidak ada alasan untuk menerima monopoli atas prinsip tawhid tersebut, dan karena gerakan yang menjadi pokok pembahasan ini merupakan karya seorang manusia, yakni Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, maka cukup beralasan dan lazim untuk menyebut mereka “Wahhabisme” dan “kaum Wahhabi”.

Selanjutnya, ada dua catatan pendahuluan lainnya. Pertama, dalam sejarah pemikiran Islam yang telah berlangsung lama dan sangat kaya, Wahhabisme tidak menempati tempat yang memiliki arti penting secara khusus. Kendati secara intelektual marjinal, gerakan Wahhabi memiliki nasib baik karena muncul di Semenanjung Arab (meski hanya di Najad, sebuah tempat yang relatif jauh dari semenanjung itu) dan karena itu dekat dengan Haramayn, yang secara geografis merupakan jantung Dunia Muslim. Keluarga Saudi, yang menjadi patron gerakan Wahhabisme, bernasib baik ketika pada abad keduapuluh mereka memperoleh kekayaan minyak yang luar biasa, yang sebagiannya telah digunakan untuk menyebarluaskan paham Wahabisme di Dunia Islam dan wilayah-wilayah lainnya.

Jika kedua faktor tersebut tidak ada, Wahhabisme mungkin saja hanya akan tercatat dalam sejarah sebagai gerakan sektarian yang marjinal dan berumur pendek. Kedua faktor yang sama pula, yang diperkuat dengan adanya sejumlah kesamaan dengan kecenderungan-kecenderungan kontemporer lainnya di Dunia Islam, telah menyebabkan Wahhabisme dapat bertahan lama.

Kedua, Wahhabisme adalah fenomena yang sama sekali bersifat spesifik, yang mesti dipandang sebagai mazhab pemikiran terpisah atau sekte tersendiri. Terkadang kaum Wahhabi dicirikan, khususnya oleh pengamat non-Muslim yang berusaha melakukan deskripsi ringkas tentang mereka, sebagai kelompok “ekstrim” atau Sunni “konservatif”, dengan ditambahkan dengan kata sifat seperti “kaku” atau “sakelek”
(stern, austere). Namun sejak awal, para ulama Sunni telah mengamati bahwa kelompok Wahhabi tidak termasuk bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Hal itu disebabkan oleh karena hampir seluruh praktik, tradisi, dan kepercayaan yang dikecam oleh Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab secara historis telah merupakan bagian integral Islam Sunni, yang dipelihara dalam berbagai literatur yang sangat kaya dan diterima oleh mayoritas kaum Muslim. Persis karena alasan itu, banyak ulama yang sezaman dengan kemunculan awal Wahhabisme mencap para pengikut Wahhabi berada di luar Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Bahwa kaum Wahhabi kini dianggap sebagai Sunni, hal itu mengindikasikan bahwa istilah “Sunni” telah diberi makna yang sangat longgar, yakni sekadar pengakuan terhadap legitimasi empat khalifah yang pertama (yang dipandang kaum Sunni sebagai al-Khulafâ’ al-Râsyidûn). Bahkan, istilah Sunni yang berkembang sekarang tidak lebih dari berarti “non- Syi‘ah”. Karena itu, tindakan kami menggolongkan kelompok Wahhabi sebagai non-Sunni terutama sekali merupakan klarifikasi sejarah.

Hal itu tidak dimaksudkan sebagai polemik, karena menurut penulis Sunnisme, hanyalah salah satu representasi dan penafsiran atas Islam. Pandangan umum lainnya yang berkaitan dengan Wahhabisme yang terpatri dalam pikiran banyak kalangan Muslim adalah bahwa Wahhabisme merupakan asal dari serangkaian gerakan pembaruan yang dalam sebagian kasus masih tetap aktif di Dunia Islam. Dengan demikian, dibayangkan bahwa pewaris langsung dari kaum Wahhabi pertama-tama adalah Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Ridha, lalu dilanjutkan dengan Ikhwan al-Muslimun, dan singkatnya diteruskan oleh berbagai tokoh dan gerakan yang dikenal sebagai Salafiyah. Memang terdapat kesamaan antara kelompok Wahhabi dan kelompok Salafi, sebagaimana akan dibahas pada bagian berikut buku ini. Juga bukan sama sekali kebetulan bahwa sejak era 1960-an dan seterusnya, kelompok Ikhwan memilih Arab Saudi sebagai tempat suaka mereka guna menghindari perlakuan sewenang-wenang ‘Abd al-Nasir.

Namun, tidak ada kaitan genetik antara Wahhabisme dan gerakan-gerakan yang kemudian
muncul di Dunia Islam. Relatif dominannya cara berpikir Wahhabi yang kini dapat diamati di berbagai negara Muslim merupakan suatu fenomena yang lebih baru, yang disebabkan oleh berbagai peristiwa yang tidak terkait dengan kemunculan pertama sekte Wahhabi. Pandangan di atas sama kelirunya dengan pikiran yang beranggapan bahwa sejak awal kemunculannya, Wahhabisme merupakan suatu gerakan pembaruan yang mendapat sambutan simpatik dan luas di Dunia Islam, atau bahwa Wahhabisme sejalan dengan pola umum “pembaruan” (tajdîd) yang berlangsung pada masa itu di Timur Tengah, Asia Selatan, Afrika dan, tempat-tempat lainnya. Watak dari seluruh gerakan-gerakan itu umumnya berbeda dari Wahhabisme, yang harus dilihat dalam konteks spesifik zamannya sebagai suatu pengecualian, penyimpangan atau paling tidak sebagai suatu anomali.

LihatTutupKomentar