Tanggapan KH Imaduddin Utsman (4) atas komentar Habib Ali Zainal Abidin dan Syekh Mahdi Ar-Roja'i
MENANGGAPI HABIB ALI ZAINAL ABIDIN KETUA NAQOBATUL ASYROF RABITAH ALAWIYAH DAN SYEKH MAHDI ARROJA’I
ditulis oleh: Imaduddin Utsman al-Bantani
Habib Ali Zainal Abdidin Assegaf , ketua Naqobatul Asyrof al-Kubro (selanjutnya disebut ketua NA) yang merupakan lembaga pemeliharaan nasab di bawah Rabitah Alawiyah, membuat sebuah video tentang ketersambungan nasab Ba Alawi kepada Ahmad bin Isa. Video tersebut di unggah oleh Sikam TV pada 10 Mei 2023 dengan judul “Ketua Naqobatul Asyrof Al Qubro Angkat Bicara.!! AlHabib Zainal Abidin Assegaf.”
Selain itu, telah sampai kepada penulis, selembar kertas yang berisi pendapat seorang pakar nasab yang bernama Syekh Mahdi al-Roj’ai, yang menyatakan bahwa nasab Ba Alawi telah mashur sebagai keturunan Ahmad al-Muhajir.
MENANGGAPI HABIB ALI ZAINAL ABIDIN KETUA NAQOBATUL ASYROF RABITAH
ALAWIYAH
Pertama penulis akan menanggapi tentang video ketua NA.
Yang
disampaikan ketua NA tersebut relative sama dengan yang disebut Habib Hanif
Alatas. Namun ada beberapa hal yang dapat penulis tanggapi, diantaranya:
Ketua
NA menyatakan, bahwa penulisan nasab Ba Alawi sudah berlangsung sejak masa
Syekh Salim bin Basri (w. 604). Syekh Salim bin Basri, menurut ketua NA,
adalah Salim bin Basri bin Abdullah bin Basri bin Ubaidillah bin Ahmad bin
Isa, dari internal keluarga Ba Alawi. Menurut ketua NA, Syekh Salim bin Basri,
menulis sebuat kitab nasab bernama “Asyajarah al-Kubro” . jika pada masa itu
betul dari keluarga Alawi sudah ada seorang ulama yang sekaligus seorang
nassabah (ahli nasab) yang menulis kitab nasab, maka, seharusnya, semakin
mudahlah bagi bagi ulama nasab lain untuk mendeteksi keluarga Alawi untuk
dicatat dikitab nasab mereka.
Namun nyatanya, pada masa abad ke 6
dan 7 hijriyah tersebut, nasab keluarga Alawi tidak tercatat dalam kitab-kitab
nasab yang mencatat keturunan Nabi Muhammad s.a.w. dan nama Syekh Salim bin
Bashri, adalah nama yang majhul (tidak dikenal) dalam kalangan ulama nasab
pada masa itu. Kitab Tabaqat al-Nassabin, yaitu kitab-kitab yang memuat para
ahli nasab sepanjang zaman, karya Bakar Abu Zaid, pun tidak menyebut nama
Syekh Salim bin Bashri sebagai salah seorang ahli nasab yang mempunyai
kitab.
Lalu, dari mana kita dapat mengkomfirmasi bahwa benar Syekh
Salim bin Bashri ini pernah menulis sebuah kitab berjudul “Asyajarah
al-Kubro”? penulis meyakini, berdasarkan data-data ilmiyah, bahwa pensibatan
keluarga Alawi kepada Nabi Muhammad s.a.w. dimulai sejak Habib Ali al-Sakran
(w.895) menulis kitab al-Burqot al musyiqoh. jika betul Syekh Salim bin Bashri
ini menulis kitab pada tahun 590 H., seperti yang disebutkan ketua NA, kenapa
Habib Ali al-Sakran tidak menyebutkannya? Mengapa justru yang dijadikan
rujukan Habib Ali al-Sakran adalah kitab al-Jundi (w.730 H.)? yaitu ketika ia
berkesimpulan bahwa Ubaid, leluhurnya itu, adalah orang yang sama dengan
Abdullah bin ahmad bin Isa.
Di dalam kitab al-Burqoh halaman 135,
Habib Ali al-Sakran menyebut nama Salim bin Bashri, tetapi ia tidak
menyebutkan bahwa Salim bin Bashri mempunyai kitab nasab. Padahal disebutkan
oleh ketua NA, bahwa pendiri Naqobatul Asyrof al-Kubro adalah Habib Umar
Muhdor (w. 833 H) lalu dilanjutkan oleh Habib Ali al-Sakran. Sesuatu hal yang
aneh jika Habib Ali al-Sakran sebagai Naqobatul Asyraf pada zamannya tidak
mengetahui kitab “Asyajarah al-Kubro”, tetapi ketua NA sekarang mengetahuinya.
Padahal jaraknya sudah 854 tahun sejak ditulis tahun 590 H. Kemana saja kitab
itu selama itu?
Penentuan usia manuskrip dalam penelitian filologi
dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu evidensi internal dan evidensi eksternal.
Evidensi internal adalah penentuan usia naskah berdasarkan keterangan yang
terdapat di dalam naskah yang diteliti. Keterangan itu terdapat dalam manggala
(keterangan di awal karya) dan kolofon (keterangan di akhir karya). Cara
tersebut digunakan untuk menentukan saat paling awal karya itu ditulis.
Evidensi
eksternal adalah penentuan usia naskah berdasarkan data yang yang terdapat di
luar naskah. Penentuan ini menggunakan 3 cara, yaitu penyebutan nama karya
pada karya lain, prasasti dan pembandingan penggunaan bahasa pada karya yang
diperkirakan sezaman. Para filolog juga menggunakan metode watermarks dalam
menentukan usia sebuah manuskrip. Yaitu dengan melihat jenis kertas yang
digunakan.Sebuah manuskrip, memang bisa direkayasa, tetapi ilmuan punya cara
untuk meneliti keasliannya dengan metodologi ilmiyah.
MENJAWAB SYEKH MAHDI ARROJA’I
Para pendukung nasab Ba Alawi, nampaknya, meminta bantuan Syekh
Mahdi Arroja’I untuk memperkuat dalil ketersambungan nasab mereka. Dengan
selembar surat yang ditandatanganinya, Syekh Mahdi Arroja’I menyatakan bahwa
nasab Ba Alawi telah masyhur sebagai keturunan Ahmad al-Muhajir. Surat itu
ditandatangani pada 15 Romadon 1444 H. beberapa hari yang lalu.
Penetapan
yang tanpa dalil sama saja bukan penetapan, hanya pendapat yang layak
diabaikan. Yang kita butuhkan adalah dalil, bukan pendapat pribadi. Karena
jika ada sebuah dalil yang kuat maka semua orang akan berkesimpulan yang sama.
Jika tidak ada dalil, maka pendapat itu pendapat yang bisa dipengaruhi hal-hal
lain, dan setiap orang bisa berbeda tergantung hal yang mempengaruhinya
itu.
Sebenarnya, meminta Syekh Mahdi Arroja’I untuk membuat surat
khusus bahwa nasab Ba Alawi diakui tidak diperlukan, karena memang beliau
dalam kitabnya sudah mengakui nasab Ba Alawi walau tanpa dasar yang jelas.
jadi seharusnya, pembela nasab Ba Alawi tinggal tunjukan kitab itu, bahwa
Syekh Mahdi Arroja’I, ulama dari Iran, menyebut nama Ubaidillah sebagai anak
Ahmad, tidak mesti harus meminta beliau membuat surat pernyataan khusus.
Lihat
dalam kitabnya, al-Mu’qibun min Ali Abi Talib Alaihissalam, juz 2 hal 419, ia
menyebut anak Ahmad bin Isa berjumlah empat, Muhammad, Ali, Husain dan
Ubaidillah. Pertanyaannya, darimana beliau menukil bahwa Ahmad bin Isa
mempunyai anak bernama Ubaidillah? Jika dari kitab, lalu kitabnya kitab apa?
Jika dari selain kitab, lalu alasannya apa? Beliau tidak menjelaskan secara
rinci. Beliau hanya menyebutkan bahwa anak Ahmad bin Isa berjumlah empat:
Muhammad, Ali, Husain dan Ubaidillah, tanpa menyebutkan referensinya.
Ada
ungkapan menyatakan:
نحن أصحاب الدليل حيثما يمل نمل
“Kami adalah “ashabuddalil” (orang yang berpatokan kepada dalil), kemana
saja dalil menuju disitu kami menuju”
Sementara, apa yang disebut
syekh Mahdi Arroja’I tidak punya dalil, maka pendapat itu pendapat yang
tertolak, karena belum bisa menyambung keterputusan nasab Ba Alawi tersebut
selama 550 tahun. Namun, penyebutan Syekh Mahdi arroja’I bahwa Ubaidillah
sebagai anak ahmad mempunyai hikmah, Yaitu, hilangnya keraguan akan keabsahan
kitab “Asyajarah al-Mubarokah”, kenapa? Karena, kitab tersebut ditahqiq oleh
Syekh Mahdi Arroja’I.
sebelumnya, pentahqiqan kitab itu
dipermasalahkan. Dianggap penisbatan Imam al-Fakhruroji sebagai pengarang
kitab tersebut hanya ulah oknum pentahqiq yang berideologi syi’ah yang
membenci keluarga Ba Alawi yang sunni. Hal demikian tidak terbukti, karena,
walau kitab yang ditahqiqnya, yaitu al-syajarah al-Mubarokah tidak menyebut
Abdullah atau Ubaidillah sebagai anak Ahmad, syekh Mahdi arroja’I, dalam
kitabnya sendiri menyebut Ubaidillah sebagai anak Ahmad.
Hal
tersebut menunjukan, kejujuran ilmiyah pentahqiq kitab al-syajarah
al-Mubarokah dan kekuatannya untuk dijadikan pegangan para pemerhati nasab
keturunan Nabi Muhammad s.a.w. adapun penyebutan Syekh Mahdi Arrojai terhadap
Ubaidillah sebagai anak Ahmad, menurut penulis, mungkin, karena beliau menukil
dari kitab nasab Tuhaftuttolib atau kitab al-Burqoh. Yang keduanya tidak
mempunyai ketersambungan dengan kitab-kitab sebelumnya.
Sumber: nahdlatululum.com