Wahabi dan Efek Negatifnya pada Dunia Islam

Wahabi dan Efek Negatifnya pada Dunia Islam di kalangan sarjana-sarjana Barat atau non-Muslim, kepedulian akan pengaruh Wahhabisme terhadap pertumbuhan radikalisme atau terorisme Islam sudah cukup lama muncul. Di antara karya-karya belakangan yang mendiskusikannya adalah Understanding Jihad, karangan David Cook (2005), yang antara lain menyebut sumbangan Wahhabisme dalam penyebaran doktrin takfîr, yang mengimplikasikan pandangan bahwa bahkan seorang Muslim pun dapat dijadikan sasaran dalam pelaksanaan jihad.
Wahabi dan Efek Negatifnya pada Dunia Islam

Tempat/Tahun terbit: Jakarta 2011
Diterjemahkan dari:
Wahhabism: A Critical Essay
(Oneonta, New York; Islamic Publication International, 2002)
Penulis: Hamid Algar
Penerjemah: Rudy Harisyah Alam
Editor: Ihsan Ali-Fauzi
Penyelaras Akhir: Achmad Rifki dan Saidiman

Daftar Isi

Bagian kedua: Pengantar Penerbit Buku Wahabisme Hamid Algar

Sementara itu, di kalangan sarjana-sarjana Barat atau non-Muslim, kepedulian akan pengaruh Wahhabisme terhadap pertumbuhan radikalisme atau terorisme Islam sudah cukup lama muncul. Di antara karya-karya belakangan yang mendiskusikannya adalah Understanding Jihad, karangan David Cook (2005), yang antara lain menyebut sumbangan Wahhabisme dalam penyebaran doktrin takfîr, yang mengimplikasikan pandangan bahwa bahkan seorang Muslim pun dapat dijadikan sasaran dalam pelaksanaan jihad. [4] Karya lainnya adalah karangan Fawaz A. Gerges, The Far Enemy: Why Jihad Went Global (2005), yang antara lain mendiskusikan pengaruh Wahhabisme (lewat tokoh seperti Ayman al-Zawahiri) terhadap transformasi doktrin jihad di kalangan Muslim radikal: jika semula jihad hanya bisa dialamatkan kepada rezim-rezim yang dianggap zalim di dalam negeri, kini hal itu bisa, bahkan harus, dilakukan terhadap siapa saja yang dianggap zalim di seluruh dunia. [5]

Akhirnya, kita juga harus menyebut karangan dua sarjana Perancis: Olivier Roy dan Gilles Kepel. Dalam Globalized Islam: The Search for a New Ummah (2004), Roy membahas Wahhabisme sebagai cikal-bakal model keberagamaan Islam yang disebutnya “neo-fundamentalisme”, yang dicirikan oleh pandangan bahwa merekalah satu-satunya kelompok Muslim yang benar dan tidak mungkin ada aliran pemikiran Islam lain di luar aliran mereka. Model keberagamaan seperti ini, yang oleh Roy disebut “fundamentalisme”, sudah lama ada dalam sejarah Islam. Yang baru, dan karenanya disebut “neo”, dalam kasus yang terakhir ini adalah kenyataan bahwa gerakan mereka tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat negara— dalam era globalisasi sekarang, kata Roy, mereka sendiri mengalami “deterritorialisasi”. [6] Sementara itu, dalam The War for Muslim Minds: Islam and the West (2004), Kepel antara lain membahas relokasi arena “pertempuran” kalangan Muslim teroris dari negara-negara Islam ke Barat, yang diprakarsai khususnya oleh Osama bin Ladin dan Ayman al-Zawahiri, yang dididik dalam tradisi Wahhabisme yang ketat. Karenanya, ia berharap banyak kepada kaum Muslim imigran di Barat, yang dapat menjadi katalisator tumbuhnya pemikiran dan aktivisme Islam moderat di seluruh dunia. [7]

Di tengah tumbuhnya kepedulian kesarjanaan yang meningkat mengenai Wahhabisme dan pengaruh negatifnya di dunia itulah Yayasan Wakaf Paramadina hendak memberi sedikit sumbangan bagi para pembaca di Indonesia, dengan menerbitkan buku Professor Hamid Algar ini. Dengan penerbitan buku tipis ini, kami juga mengharapkan pengaruh positifnya bagi pertumbuhan pemikiran dan aktivisme Islam moderat di tanah air. Kritisisme yang objektif terhadap Wahhabisme sejalan dengan visi dan missi pokok Yayasan Paramadina, yang sejak 20-an tahun lalu mengembangkan pemikiran Islam yang terbuka dan toleran, yang sepenuhnya harus didasarkan atas tanggung jawab intelektual.

Penerbitan buku ini, dengan sendirinya, sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyerang pihak mana pun, termasuk misalnya pemerintahan Arab Saudi atau mitra-mitra kerjanya di Indonesia. Sejak terjadinya peristiwa 11 September 2001, mereka gencar dituduh sebagai pihak yang turut mendanai pengembangan pemikiran Islam radikal yang antara lain bisa berujung pada aksi-aksi teroris. Seperti dikemukakan Millard Burr dan Robert Collins dalam Alms for Jihad (2006), tuduhan paling gencar justru datang dari pemerintahan Amerika Serikat, sekutu terdekat Arab Saudi sendiri. Dalam pernyataan persnya (19 Februari 2004), Departemen Keuangan Amerika Serikat mengatakan, beberapa lembaga penyalur dana dari pemerintahan Arab Saudi “tidak saja telah membantu tersebarnya kematian manusia dan kerusakan, tetapi juga telah mengelabui banyak orang untuk percaya bahwa mereka sedang menyebarkan kebaikan.” [8]

Tetapi, dalam pandangan kami, masalah di atas adalah masalah yang sangat kompleks dan kita harus menyikapinya dengan ekstra hati-hati. Pertama, penerima dana bantuan Arab Saudi bukan hanya Muslim radikal. Muslim radikal pun bukanlah sebuah kelompok monolitik. Mereka terbagi ke dalam kelompok yang membolehkan aksi-aksi kekerasan dan yang tidak. Mereka juga terpecah ke dalam kelompok yang mendukung aksi-aksi teroris dan yang mengecamnya. Kedua, menisbatkan aksi-aksi kekerasan atas nama Islam di sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim, seperti Indonesia, hanya kepada faktor-faktor eksternal, seperti dana Arab Saudi, juga adalah sikap yang tidak adil. Di Indonesia, misalnya, radikalisme dan terorisme Islam bukan tidak memiliki benih dan presedennya sendiri. Pada titik ini penting disimak pernyataan Pangeran Salman bin Abd al-Aziz, Gubernur Riyadh, sehubungan dengan tuduhan di atas: “Ketika seseorang memberi zakat kepada seorang miskin, ia tidak dapat mengajukan syarat-syarat tentang bagaimana si miskin itu akan memanfaatkan dananya. Jika dana itu digunakan untuk melakukan aksi-aksi kejahatan tertentu, maka hal itu bukanlah tanggung jawab si pemberi dana.” [9]

Pendeknya, kami percaya bahwa kritik atas dana Arab Saudi tidak bisa main hantam. Salah-salah, kita malah akan dianggap menerapkan standar ganda: dana dari negeri asing lain, seperti dari Amerika Serikat dan Jepang, diperbolehkan; tapi dari negeri-negeri Muslim Timur Tengah, dilarang atau dihambat. Bahaya lainnya adalah: tersumbatnya dana Timur Tengah akan mempersulit lembaga-lembaga pendidikan dan dakwah Islam lokal untuk terus hidup, membuka kemungkinan lebih banyak orang menganggur, dan seterusnya. Ujungnya, ini akan memperkuat teori konspirasi, bahwa kita memang rentan terhadap tekanan “Barat” yang mau menghambat kemajuan Islam. Bukankah ini hanya mempersubur lahan radikalisme Islam?

Dalam kerangka itulah kami bahkan menyambut baik keinginan pemerintah Arab Saudi untuk bekerjasama dengan pemerintahan kita, dalam menumbuhkan pemikiran Islam moderat di tanahair. Seperti dilaporkan oleh media massa, niat itu pernah disampaikan oleh Sheikh Saleh bin Abdul Aziz Al-Sheikh, Menteri Urusan Islam, Wakaf, Dakwah, dan Penyuluhan Kerajaan Arab Saudi, setelah ia bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta awal Maret lalu. [10] Niat itu kembali dinyatakan wakil pemerintahan Arab Saudi kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika beliau berkunjung ke Arab Saudi untuk pertemuan OKI (Organisasi Konferensi Islam) pada bulan April 2007 lalu. Pertumbuhan Islam moderat: itulah kuncinya.

Mudah-mudahan kini bertambah jelas bahwa kami menerbitkan buku ini tidak dengan maksud untuk menyerang pihak mana pun, termasuk pemerintahan Arab Saudi. Seraya menunggu realisasi kerjasama di atas, yang seratus persen kami dukung, izinkanlah kini kami menyambutnya dengan menerbitkan buku ini, yang berisi tinjauan kritis atas Wahhabisme. Kami percaya, masa depan Islam akan ditentukan oleh sejauh mana kaum Muslim bisa mengembangkan paham keislaman yang terbuka, inklusif, dan toleran. Sebuah paham keislaman yang didasarkan pada prinsip bahwa sementara kita yakin akan kebenaran yang sekarang kita pegang, harus selalu ada ruang di dada kita untuk kemungkinan bahwa keyakinan kita itu bisa salah dan milik orang lainlah yang benar. Dan karenanya kita tidak bersikap mutlak-mutlakan,
seraya selalu senang dinasihati—bukankah, seperti kata sebuah adagium Arab, al-dîn nashîhah?

Akhirnya, dengan terbitnya buku ini, kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Rudy Harisyah Alam yang telah menerjemahkan naskahnya dari sebuah naskah Inggris. Juga kepada Achmad Rifki dan Saidiman, yang telah menyunting terjemahan di atas dengan baik.

Ihsan Ali-Fauzi
Yayasan Wakaf Paramadina,
Direktur Program

Catatan Kaki

4. David Cook, Understanding Jihad (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 2005), hh. 74-75.

5. Fawaz A. Gerges, The Far Enemy: Why Jihad Went Global (New York: Cambridge University Press, 2005), h. 131.

6. Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah (New York: Columbia University Press, 2004), hh. 234-235.

7. Gilles Kepel, The War for Muslim Minds: Islam and the West, trans. by Pascale Ghazaleh (Cambridge and London: The Belknap Press of Harvard University Press, 2004).

8. Dikutip dalam J. Millard Burr and Robert O. Collins, Alms for Jihad (New York: Cambridge University Press, 2006), h. 204.

9. Dikutip dari Burr and Collins, Alms for Jihad, h. 26.

10. Lihat “Pemikiran Islam Moderat akan Dikembangkan,” Kompas, 7 Maret 2007.
LihatTutupKomentar