Kutipan Kitab Ianah Talibin tentang Tahlilan

Kaum Wahabi Salafi dalam rangka mendeskreditkan golongan Aswaja NU terutama terkait tahlilan, mereka selalu mengutip fatwa dari kitab Ianah Talibin terkait hal tersebut yang dikatakan sebagai bid'ah munkarah. Di sini pun mereka menyalahgunakan cara penterjemahan.
Kaum Wahabi Salafi dalam rangka mendeskreditkan golongan Aswaja NU terutama terkait tahlilan, mereka selalu mengutip fatwa dari kitab Ianah Talibin terkait hal tersebut yang dikatakan sebagai bid'ah munkarah. Di sini pun mereka menyalahgunakan cara penterjemahan.

Terlepas dari itu, dalam madzhab Syafi'i, pendapat ulama madzhah Syafi'i tidaklah tunggal. Perbedaan ulama antara sesama madzhab Syafi'i itu biasa. Dan perbedaan ini pun, terutama terkait tahlil, adalah masalah khilafiyah furu'iyah (masalah fiqih).

Yang ironis, Wahabi Salafi yang katanya menolak bid'ah dengan menyatakan bahwa semua bid'ah adalah sesat, ternyata justru pelaku bid'ah terbesar karena bid'ah dalam aqidah dengan membagi tauhid menjadi tiga yaitu bid'ah uluhiyah, rububiyah dan asma was sifat. Suatu teori yang baru ada pada abad kedelapan hijriyah. Ya, delapan ratus tahun setelah hijrah Rasulullah. Kalau semua bid'ah sesat, maka Wahabi Saafi telah menyesatkan dirinya sendiri dengan penuh bangga! Baca detail: Bid'ah Tauhid Uluhiyah dan Rububiyah


وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام. وجواب منهم لذلك. (وصورتهما). ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة. فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟
I’anatuth Thalibin, 2/165
“Dan sungguh telah aku perhatikan mengeni pertanyaan yang ditanyakan (diangkat) kepada para Mufti Mekkah (مفاتي مكة المشرفة) tentang apa yang dilakukan oleh Ahlu (keluarga) mayyit perihal makanan (membuat makanan) dan (juga aku perhatikan) jawaban mereka atas perkara tersebut. Gambaran (penjelasan mengenai keduanya ; pertanyaan dan jawaban tersebut) yaitumengenai (bagaimana) pendapat para Mufti yang mulya (المفاتي الكرام) di negeri “al-Haram”, (semoga (Allah) mengabadikan manfaat mareka untuk seluruh manusia sepanjang masa) , tentang kebiasaan (‘urf) yang khusus di suatu negeri bahwa jika ada yang meninggal , kemudian para pentakziyah hadir dari yang mereka kenal dan tetangganya, lalu terjadi kebiasaan bahwa mereka (pentakziyah) itu menunggu (disajikan) makanan dan karena rasa sangat malu telah meliputi ahlu (keluarga mayyit) maka mereka membebani diri dengan beban yang sempurna (التكلف التام), dan (kemudian keluarga mayyit) menyediakan makanan yang banyak (untuk pentakziyah) dan menghadirkannya kepada mereka dengan rasa kasihan. Maka apakah bila seorang ketua penegak hukum yang dengan kelembutannya terhadap rakyat dan rasa kasihannya kepada ahlu mayyit dengan melarang (mencegah) permasalahan tersebut secara keseluruhan agar (manusia) kembali berpegang kepada As-Sunnah yang lurus, yang berasal dari manusia yang Baik (خير البرية) dan (kembali) kepada jalan Beliau (semoga shalawat dan salam atas Beliau), saat ia bersabda, “sediakanlah makanan untuk keluarga Jakfar”, apakah pemimpin itu diberi pahala atas yang disebutkan (pelarangan itu) ?

وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
“Dan kebiasaaan dari ahlu (keluarga) mayyit membuat makanan untuk mengundang (mengajak) menusia kepadanya, ini bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh), sebagaimana mereka memenuhi ajakan itu, sesuai dengan hadits shahih dari Jarir ra, “Kami (sahabat) menganggap bahwa berkumpul ke ahlu (keluarga) mayyit dan menyediakan makanan (untuk mereka) setelah dikuburnya (mayyit) adalah bagian dari meratap (an-Niyahah)”.

وقال أيضا: ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت، لانه شرع في السرور، وهي بدعة. روى الامام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح، عن جرير بن عبد الله، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة. اه. وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم إلخ

“Dan (juga) berkata; “dan dimakruhkan penyediaan jamuan besar (الضيافة) dari Ahlu (keluarga) mayyit, karena untuk mengadakan kegembiran (شرع في السرور), dan ini adalah bi’dah. Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan isnad yang dshahih, dari Jarir bin Abdullah, berkata ; “kami (sahabat) menganggap berkumpulnya ke (tempat) ahlu (keluarga) mayyit dan menyediakan makanan bagian dari merapat”. Dan didalam kitab Al-Bazaz, “diMakruhkan menyediakan makanan pada hari pertama, ke tiga dan setelah satu minggu dan (juga) dikatakan (termasuk) makanan (yang dibawa) ke kuburan pada musiman”.

وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك.
I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146

“Dan didalam kitab Hasiyatul Jamal ‘alaa Syarh al-Minhaj (karangan Al-‘Allamah asy-Syekh Sulaiman al-Jamal) ; “dan sebagian dari bid’ah Munkarah dan Makruh mengerjakannya yaitu apa yang dilakukan orang daripada berduka cita , berkumpul dan 40 harian, bahkan semua itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang (haram), atau dari (harta) mayyit yang memiliki (tanggungan) hutang atau (dari harta) yang bisa menimbulkan bahaya atasnya, atau yang lain sebagainya”

وقد قال رسول الله (ص) لبلال بن الحرث رضي الله عنه: يا بلال من أحيا سنة من سنتي قد أميتت من بعدي، كان له من الاجر مثل من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئا. ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله ورسوله، كان عليه مثل من عمل بها، لا ينقص من أوزارهم شيئا. وقال (ص): إن هذا الخير خزائن، لتلك الخزائن مفاتيح، فطوبى لعبد جعله الله مفتاحا للخير، مغلاقا للشر. وويل لعبد جعله الله مفتاحا للشر، مغلاقا للخير.

I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146)
“Dan sungguh Rasulullah bersabda kepada Bilal bin Harits (رضي الله عنه) : “wahai Bilal, barangsiapa yang menghidupkan sunnah dari sunnahku setelah dimatikan sesudahku, maka baginya pahala seperti (pahala) orang yang mengamalkannya, tidak dikurangi sedikitpun dari pahala mereka (orang yang mengamalkan) dan barangsiapa yang mengada-adakan (membuat) bid’ah dhalalah dimana Allah dan Rasul-Nya tidak akan ridha, maka baginya (dosa) sebagaimana orang yang mengamalkannya dan tidak dikurangi sedikitpun dari dosa mereka”. dan Nabi bersabda ; “Sesungguhnya kebaikan (الخير) itu memiliki khazanah-khazanah, khazanah-khazanah itu ada kunci-kuncinya (pembukanya), Maka berbahagialah bagi hamba yang telah Allah jadikan pada dirinya pembuka untuk kebaikan dan pengunci keburukan. Maka, celakalah bagi hamba yang telah Allah jadikan pada dirinya pembuka keburukan dan pengunci kebaikan”

ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر، فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما. والله سبحانه وتعالى أعلم.

“dan tidak ada keraguan bahwa mencegah manusia dari bid’ah Munkarah ini,padanya termasuk menghidupkan as-Sunnah, dan mematikan bagi bid’ah, dan membuka pada banyak pintu kebaikan, dan mengunci kebayakan pintu keburukan..Maka jika manusia membebani (dirinya) dengan beban yang banyak, itu hanya akan mengantarkan mereka kepada perkara yang diharamkan.”
LihatTutupKomentar